BACA JUGA: Catatan Perjalanan: Menjalani Kuliah Sambil Nyantri di Rimba Metropolis Surabaya
Skenario di atas sebenarnya sangat disadari pihak Belanda sehingga Gubernur Jenderal J.B. Van Heutzs mendirikan ”Sekolah Desa” pada 1907 dengan alasan bahwa ”Sekolah Kelas Dua” akan melahirkan kelompok intelektual yang frustrasi karena tidak dapat ditampung di pemerintahan yang hal itu akan membahayakan pemerintah Belanda.
Hal tersebut dapat terjadi karena sistem pendidikan baru itu akan mempercepat tumbuhnya golongan inteligensia yang kemudian memegang peran dalam fungsi-fungsi baru yang diciptakan perkembangan proses birokrasi, komersialisasi, dan urbanisasi. Mereka memegang peran dalam berbagai lapangan pekerjaan seperti guru, pegawai administrasi, hakim, pengacara, dan lain-lain (Kartodirdjo, 1991).
Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, Surabaya sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan di Indonesia juga tidak dapat lepas dari mainstream di atas. Surabaya bahkan menjadi tempat bersemainya para intelektual muda yang seperti Soekarno, Ruslan Abdul Gani, dr Sutomo, dan lain-lain yang kemudian tersebar dalam berbagai organisasi sosial keagamaan maupun pergerakan.
Hebatnya lagi, setiap organisasi punya majalah dan surat kabarnya sendiri yang selain sebagai corong organisasi juga sebagai media sosialiasi kepada masyarakat luas. Bandingkan dengan organisasi dan partai politik yang ada saat ini, berapa persen dari mereka yang memiliki majalah, tabloid, atau surat kabar.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan dan pergerakan nasional pada awal abad ke-20, pers sebagai salah satu instrumen penting dalam menumbuhkan kesadaran nasional juga bermunculan.
Pergerakan nasional dan pers pribumi ibarat kembar siam, dua hal yang hidup berdampingan secara simbiosis: terdapat saling ketergantungan secara organik yang satu sulit mempertahankan eksistensinya tanpa yang lain.
Salah satu fungsi yang diemban pers adalah menyosialisasikan cita-cita dan perjuangan pergerakan kepada rakyat. Hal tersebut penting lantaran pers bersifat kontinu dan intensif sehingga penanaman kesadaran tersebut dapat lebih efektif, walaupun tentunya tidak dapat dihindari adanya segmentasi menurut aliran dan kepentingan politik masing-masing pergerakan atau kelompok.
Dari lima edisi majalah bulanan Soeara Poesoera yang saya temukan, majalah yang diterbitkan Badan Penerbit Poetera Soerabaja (Poesoera) itu tampak sangat variatif dan lengkap. Hal tersebut tampak dari tulisan-tulisan dan berita yang ditampilkan.
Secara garis besar, artikel-artikel yang ditampilkan berkaitan dengan 1) pemerintahan, 2) agama (Islam), 3) ekonomi, 4) pendidikan, 5) sastra, 6) pekabaran, 7) iklan, dan lain-lain.
Dalam artikel tentang pemerintahan, misalnya, Soeara Poesoera sangat aktif mengkritik ketimpangan yang terjadi dalam susunan pemerintahan di Gemeente Surabaya. Dalam artikel yang berjudul Gemeenteraad, misalnya, Ali Toha (redaktur Soeara Poesoera) mengkritik persentase jumlah anggota gemeenteraad dari Indonesia yang sangat tidak proporsional jika dibandingkan dengan anggota yang berkebangsan Belanda maupun Timur Asing.
Diskriminasi pada masa kolonial terjadi pada semua aspek kehidupan masyarakat. Dalam koran Pewarta Soerabaia yang terbit pada Januari 1923, misalnya, dilaporkan bahwa banjir yang merendam Jalan Ardjoena-Boulevard West (sekarang Jalan Raya Arjuna) dan Kampung Krembangan tidak hanya menjadi cermin dari buruknya drainase, tetapi juga sikap diskriminasi gemeente (pemerintah kota).
Masyarakat membandingkan permukiman penduduk Eropa yang selalu mendapat perhatian pemerintah kota sehingga mereka dapat tinggal dengan tenang di kampung yang kering dan sejuk. Sebaliknya, penduduk non-Eropa harus rela tinggal di kampung yang menurut Pewarta Soerabaia hanya layak disebut sebagai kandang babi (Pewarta Soerabaia, 29-1-1925.)
Membaca majalah Soeara Poesoera tidak hanya mendatangkan keasyikan karena kita dapat menyelami kembali masa-masa pergerakan nasional pada dekade kedua dan ketiga abad ke-20, tetapi juga menunjukkan bagaimana pers menjadi salah satu ujung tombak untuk menyuarakan keresahan dan kritik masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Semoga spirit Soeara Poesoera tetap dapat dirasakan pada pers kita saat ini. (*)
*) Sarkawi B. Husain adalah Penulis buku ”Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930–1960)" dan pengajar di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga.