Saat ini inisiatif kebijakan hijau di kementerian dan lembaga telah dilakukan, tetapi masih bersifat parsial dan belum terintegrasi sepenuhnya.
Sementara itu, kondisi yang diinginkan di masa yang akan datang ialah tercapainya target net zero emission tahun 2060 serta peningkatan ekonomi yang berkelanjutan dengan sistem keuangan yang resilien dalam menghadapi risiko terkait perubahan iklim untuk mendukung ketahanan nasional.
Ketika mengadopsi praktik-praktik green banking, dunia perbankan akan menghadapi beberapa kendala dan tantangan yang tidak ringan.
Berikut beberapa tantangan yang dikutip dari jurnal Green Banking: Benefits, Challenges and Opportunities in Indian Context (Arif dan Faizanudin, 2023).
Pertama, green banking cenderung membatasi transaksi bisnis hanya pada entitas bisnis yang memenuhi syarat dalam penyaringan yang sesuai dengan prinsip bisnis ramah lingkungan. Karena jumlah nasabah yang terbatas, mereka akan memiliki basis market yang relatif kecil dalam mendukung kegiatannya.
Kedua, banyak bank yang bergerak di bisnis hijau masih sangat baru dan masih dalam tahap awal (entry level). Umumnya, dibutuhkan waktu 5 hingga 10 tahun bagi bank untuk mulai memanen hasilnya. Oleh karena itu, strategi green banking relatif tidak akan membantu bank selama terjadinya resesi ekonomi.
Ketiga, green banking memerlukan ongkos yang tidak kecil karena korporasi harus membangun kualitas SDM yang mumpuni dalam bidang kompetensi melakukan due dilligence terkait kelayakan bisnis ramah lingkungan.
Keempat, dukungan para stakeholder (pemerintah, investor, dan masyarakat) yang belum sepenuhnya maksimal dan tidak adanya otoritas formal dan independen menjadi hambatan green banking untuk berkembang.
Kelima, munculnya sejumlah risiko yang sulit diantisipasi pihak perbankan. Risiko-risiko tersebut bersifat sulit untuk diukur. Contohnya, risiko transisi yang menggambarkan suatu kondisi ketidakpastian terkait dengan perubahan kebijakan, harga, dan nilai yang mungkin terjadi dalam proses mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi karbon.
Selanjutnya, risiko fisik yang mendeskripsikan risiko bencana alam yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mengakibatkan kerugian ekonomi seperti gangguan perubahan rantai pasok global.
Terakhir, risiko liabilitas yang menggambarkan sebuah risiko yang terjadi dari ketidakpastian seputar potensi kerugian keuangan dan kompensasi klaim yang berasal dari kerugian akibat perubahan iklim (Carney, 2023).
David Barmes dalam tulisannya yang berjudul The Green Central Banking Scorecard menjelaskan bahwa green central banking yang ideal adalah bank sentral yang telah memasukkan kebijakan hijau dalam empat kategori. Yaitu, riset dan advokasi, kebijakan moneter, kebijakan keuangan, dan leading by example.
Pada kategori riset dan advokasi, green central banking diwujudkan dalam bentuk partisipasi dan keaktifan dalam berbagai publikasi lingkungan.
Pada kategori kebijakan moneter, green central banking diwujudkan dalam bentuk adopsi kebijakan hijau ke dalam kebijakan moneter hijau (green monetary).
Untuk kebijakan keuangan, sering kali disebut sebagai prudential policy (microprudential and macroprudential), green central banking diwujudkan dalam bentuk kebijakan keuangan hijau.
Kategori terakhir, yaitu leading by example, ditunjukkan dengan kepemimpinan bank sentral dalam pengungkapan environmental risk yang dihadapi sektor perbankan.