Insiden Khofifah vs Risma terjadi saat Khofifah berkomentar mengenai Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) yang terganggu polusi sampah karena berdekatan dengan TPA (tempat pembuangan akhir) sampah di Benowo yang jaraknya beberapa ratus meter dari stadion. Ketika itu Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepak Bola U-20 2020 dan GBT akan menjadi salah satu venue.
Aroma sampah yang berembus dari TPA Benowo menuju stadion GBT sudah menjadi menu yang harus dinikmati para suporter yang menonton laga di TPA. Tentu aroma tersebut mengganggu bagi yang tidak terbiasa. Apalagi kalau ada event internasional.
Karena itu, muncul ide untuk mengalihkan venue ke Stadion Kanjuruhan. Risma menegaskan bahwa problem aroma itu sudah bisa diselesaikan. Sampai sekarang pun, suporter sepak bola yang menonton di GBT merasa fine-fine saja.
BACA JUGA: Kampanye Pilgub Jatim 2024 Masih Adem-Ayem
BACA JUGA: Dukung Risma di Pilgub Jatim, Eri: Pilih Emak’e Arek-arek Suroboyo
Dari arena sepak bola, sekarang persaingan Khofifah vs Risma beralih ke arena politik di pilgub Jatim. Ada tiga calon gubernur yang semuanya perempuan. Namun, perburuan kursi nomor satu Jatim kali ini lebih sebagai two horse race, ’balapan dua kuda’, ketimbang tiga kuda.
Pasangan dari PKB (Patrtai Kebangkitan Bangsa) Luluk Nur Hamidah-Lukman Hakim dianggap hanya sebagai peserta penggembira. PKB yang notabene pemenang di pemilihan anggota legislatif 2024 terlihat kurang serius menurukan jagonya. Sangat mungkin PKB sudah punya bargain dengan KIM Plus sehingga terkesan hanya ingin menggugurkan kewajiban.
Khofifah mendapat dukungan penuh dari KIM Plus karena dianggap berjasa dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran di Jatim pada Pilpres 2024. Karena itu, Khofifah menagih dividen kepada KIM Plus di pilgub Jatim tahun ini.
Posisi PKB yang sudah menjadi bagian dari KIM Plus –dan posisi Ketua Umum Muhaimin Iskandar yang akan menduduki kursi menteri koordinator– harus dibayar dengan merelakan PKB mengalah dalam pilgub Jatim.
Kalau PKB serius menang, tentu bukan Luluk-Lukman yang dimajukan. Nama Kiai Haji Marzuki Mustamar, mantan ketua PWNU Jatim, santer disebut sebagai bakal calon gubernur yang diusung PKB.
Santer juga rumor yang menyebutkan Kiai Marzuki akan berduet dengan Risma dalam koalisi PKB-PDIP. Namun, ternyata PKB lebih memilih Luluk-Lukman yang tidak dikenal. Hanya mukjizat Tuhan yang bisa membuatnya menang.
Tinggallah Khofifah vs Risma. Pertempuran yang seru karena keduanya sama-sama ulet. Khofifah terbukti tangguh karena bisa mengalahkan petahana Saifullah Yusuf dalam pilgub 2019. Bahkan, dalam dua pilgub sebelumnya, Khofifah disebut-sebut memenangkan kontestasi meski akhirnya dikalahkan.
Ketangguhan Khofifah terbukti karena dalam tiga kontestasi itu, dia muncul belakangan. Ibarat sepak bola, Khofifah memakai serangan coming from behind. Dia bisa menyusul pada detik-detik terakhir dan memenangkan balapan pada etape terakhir.
Khofifah punya basis dukungan yang kokoh dari kalangan emak-emak Muslimat NU yang dia menjadi ketuanya. Modal dasar yang solid itulah yang membuat dia tampil perkasa pada setiap kontestasi politik yang diikuti.
Sekarang situasinya berbalik. Khofifah menjadi petahana dan Risma mengintainya dari belakang. Dalam dunia olahraga dikenal adagium mempertahankan juara lebih sulit daripada memenangkannya. Khofifah terlihat mudah mengalahkan petahana, tapi sekarang dia merasakan beratnya menjadi petahana.
Penampilan Khofifah dalam lima tahun masa pemerintahannya tidak terlalu meyakinkan. Publik disodori dengan data tingkat kemiskinan Jatim yang turun selama masa pemerintahan Khofifah. Namun, pada saat bersamaan, ada data yang menunjukkan bahwa dana bantuan sosial Jatim meningkat dalam lima tahun terakhir. Itu berarti, penanganan kemiskinan di Jatim tidak dilakukan secara struktural, tapi sekadar lipstik.