TIDAK diragukan lagi, Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini adalah dua perempuan politikus paling menonjol dari Jawa Timur dalam satu dasawarsa belakangan ini. Keduanya menapaki jalur karier yang berbeda. Khofifah menempuh jalur aktivisme melalui organisasi, Risma menekuni jalur birokrasi pemerintahan.
Keduanya sampai pada satu titik yang sama di pemerintahan pusat dan sama-sama menjadi menteri pada Kementerian Sosial. Jalur politik yang berbeda itu sekarang membawa keduanya pada titik krusial yang sama, yaitu pemilihan gubernur Jawa Timur tahun ini.
Pilgub Jatim kali ini menjadi Padang Kurusetra tempat keduanya berduel dalam Perang Bharatayudha yang menentukan hidup mati karier politik keduanya. Menang akan berjaya, kalah akan habis karier politiknya.
BACA JUGA:Absennya Isu Lingkungan dalam Pilgub Jatim
BACA JUGA:Doktor Honoris Causa untuk Khofifah Indar Parawansa
Keduanya dikenal sebagai petarung yang sama-sama ulet. Mungkin juga punya nyawa rangkap. Dalam politik sering terjadi kematian berulang-ulang dan kembali hidup untuk kemudian moncer lagi. Tapi, cerita akan lain kalau kematian politik itu berakhir di penjara.
Khofifah dan Risma bukan teman, tidak pernah bertemu bersama dalam satu organisasi. Keduanya adalah contemporaries, ’dua orang yang hidup pada era yang sama’. Keduanya sama-sama pernah menjadi menteri sosial, tetapi keduanya tidak mempunyai hubungan yang spesial. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, hubungan keduanya berduri.
Dua Srikandi itu sekarang berhadap-hadapan dalam sebuah showdown yang ketat. Khofifah mempunyai keuntungan yang besar sebagai petahana. Risma punya peluang yang potensial sebagai penantang.
BACA JUGA:Aroma Kesetaraan Gender Tiga Srikandi di Pilgub Jatim
BACA JUGA:Cagub Tri Rismaharini Dapat Dukungan Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Jatim
Sampai sebulan menjelang pertarungan 27 November nanti, posisi Khofifah masih leading. Namun, Risma pelan-pelan merangkak dan Khofifah sudah mulai merasakan Risma breathing on her neck, ’bernapas di lehernya’, karena sudah makin mendekat jaraknya.
Persaingan Khofifah vs Risma tidak terbuka, tapi lebih seperti sebuah perang dingin. Sebagai gubernur Jawa Timur, Khofifah tentu ingin mempunyai otoritas yang lebih luas terhadap wilayah yang ada dalam kekuasaannya. Namun, ketika Risma menjadi wali kota, Khofifah merasakan ada kerikil dalam sepatu yang membuatnya tidak nyaman berjalan.
Risma tegas dan uncompromising, ’tidak gampang diajak kompromi’. Pernah suatu ketika ada proyek tol tengah kota dari anggaran pemerintah pusat yang bakal membelah persis di jantung Kota Surabaya. Risma menolak proyek itu karena dia anggap akan mengganggu lingkungan dan tata kota Surabaya.
BACA JUGA:Isu Strategis di Pilgub Jatim
BACA JUGA:Khofifah Menyapa Para Buruh Pabrik Percetakan di Sidoarjo