Ramadan Kareem 2025 (11): Puasa Itu Asyik Aja

Selasa 11-03-2025,05:00 WIB
Reporter : Suparto Wijoyo *)
Editor : Heti Palestina Yunani

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (7): Revolusi Ramadan

Mereka bergembira menumpahkan kerinduan sesama teman sekampung. Saya menyaksikan dalam Ramadan ini banyak teman dan sahabat serta handai taulan melakukan kunjungan ke sana ke mari untuk menyapa.

Pengajian-pengajian digelar setiap hari. Mulai kajian after Subuh sampai bakda Tarawih. Pokoknya semua punya kesempatan untuk merayakan hari-hari penuh keberkahan. Meski demikian saya juga menemukan perilaku ketat dalam beribadah Ramadan.  

Orientasi ngajinya serius tanpa gelak tawa mengenai hal-hal yang membatalkan puasa. Ada kolega yang sampai gelisah karena takut puasanya tidak diterima Tuhan karena ada ajaran yang sangat ketat dalam ibadah puasa.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (6): Ramadan adalah Kita

Kalaulah demikian, jangan panik. Tetap saja cari rileksnya puasa Ramadan dengan bergerak sambil berdoa. Kalau dzikir duduk lama di masjid tidak kuat, maka sambil bersepeda atau berkendara mobil maupun motor, selalu membaca zikir.

Toh boleh dan tidak menyusahkan. Intinya setiap bergerak jadikan produktif secara spiritual, kalau tidak secara ekonomi. Berarti ada produktivitas yang dapat dibenahi. Selanjutnya kalau sudah terkesan mengentengkan ajaran yang sudah baku maka saya harus menahan diri  layaknya orang berpuasa: Inni-shooimun – Ana Shooimun.

Tetapi lebih dari itu terdapat selisik yang harus tersiratkan atas realitas gang-gang sempit Kota Surabaya atau di luar sana yang memiliki warung-warung kampung, café-café kecil para pedagang kaki lima. Ini tenda-tenda jajanan yang membopong nasib pemiliknya di belantara Ramadan.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (5): Bulan Distribusi

Saya menyaksi betapa hari-hari ini dapat dengan mudah memotret keberadaan para  konsumen “depot unyil” untuk sarapan pagi atau makan siang dengan lahapnya di kala “orang beriman”  mengerjakan  puasa Ramadan.

Saya tidak memasuki wilayah untuk menyoal hukumnya dalam kosmologi Ramadan di  metropolitan yang sangat kompleks warganya. Tetapi saya hanya terkilik dengan rapinya barisan para penyantap hidangan pinggiran kota yang ditutup kain-kain seadanya.

Ada keteduhan dan sebuah pesan untuk mendewasakan diri bagi penyaksinya. Warung itu tampak tidak buka tetapi ramai pengunjungnya. Tenda kaki lima itu hanya menampakkan kaki konsumennya, bukan wajahnya.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (4): Saatnya Berbagi

Ini pemandangan yang juga ada di warung-warung kampung di desa nun jauh dari metropolitan. Bagi saya iItulah justru tampak indahnya Ramadan. Ramadan memang bukan untuk menghentikan aktivitas ekonomi tetapi hanya menjaga kesantunannya.

Semula orang dengan bebas menyantap hidangan di warung secara terbuka dan sekehendaknya, bila perlu dengan memamerkan piringnya demi larisnya obyek jualan. Di bulan Ramadan ini, pemilik lapak makan menutupi etalase menunya dengan kain yang tetap menyiratkan keadaan bahwa kami tidak tutup meski berkelambu.

Kami buka dengan menyopankan diri melalui “sepotong kain”. Para konsumen tidak usah gelisah karena wajah dan ragam iman tidak akan mampu dideteksi siapapun. Biarlah sebatas geliat “beriftar lebih cepat” itu saja yang menatap ramainya lalu lalang.

Kategori :