"Ketika kebijakan tersebut dalam kurun waktu cukup lama dan setiap tahun ada masalah yang sama, artinya kebijakan itu tidak sesuai. Ada sesuatu yang perlu dicek kembali," ujar Martadi.
Salah satu masalah yang sering muncul di Surabaya terkait PPDB zonasi adalah adanya indikasi penambahan Kartu Keluarga (KK) yang tidak rasional di rumah-rumah sekitar sekolah.
BACA JUGA:Surabaya Sediakan 9 Unit Bus Sekolah Gratis, Layani 5 Rute Strategis
BACA JUGA:RSUD Eka Candrarini Surabaya Timur Siap Diresmikan, Kenyamanan Pasien Jadi Prioritas
"Di satu rumah kadang ada lebih dari lima KK, sementara tidak ada anaknya. Ini tidak bagus," ungkapnya.
Selain itu, ada beberapa wilayah di Surabaya yang masuk kategori terisolasi atau yang ia sebut sebagai "blank spot".
Di wilayah tersebut, anak-anak tidak berkesempatan untuk bersekolah di sekolah negeri karena tidak terjangkau dalam radius tertentu.
"Anak-anak ini tidak akan diterima karena kuota sudah habis," tambah Martadi.
Martadi menyarankan agar regulasi zonasi dibuat lebih fleksibel, memberikan ruang dan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk memodifikasi sesuai kondisi kota masing-masing.
BACA JUGA:Eri-Armuji Raih 980.380 Suara Sah, Raih 81,3 Persen untuk Pilwali Surabaya
BACA JUGA:Surabaya Waspada! Cuaca Ekstrem Berlangsung hingga Januari 2025
"Sehingga daerah bisa menaikkan atau menurunkan kuota dalam batas yang bisa diterima," jelasnya.
Di samping itu, Martadi menekankan pentingnya melibatkan sekolah swasta dalam PPDB zonasi. Alasannya sederhana. Sekolah swasta jumlahnya lebih banyak dari sekolah negeri di Surabaya,
"Bahkan bisa tiga kali lipat. Jangan sampai setiap tahun energi kita habis hanya untuk mengurus penerimaan sekolah negeri," katanya.
Ia juga menyoroti pertumbuhan penduduk di daerah pinggiran Surabaya yang cepat, namun tidak diimbangi dengan penambahan jumlah sekolah.
Menurutnya, sekolah-sekolah jauh lebih banyak berada di pusat kota yang penduduknya tidak sebanyak di Surabaya pinggiran.