GOLPUT, akronim dari golongan putih. Sekarang dipelesetkan menjadi ”golongan penerima uang tunai”. Dulu adalah gerakan protes mahasiswa menjelang Pemilu 1971. Gerakan golput lahir akibat kekecewaan terhadap Golkar dan rezim Orde Baru di bawah Soeharto.
Tokoh utama gerakan itu ialah almarhum Arief Budiman (bukan Arief Budiman ketua KPU, melainkan dosen Satya Wacana Salatiga). Arief kemudian menjadi ikon perlawanan terhadap Orde Baru. Di akhir hayatnya, Arief pindah ke Melbourne, Australia, menjadi guru besar ilmu politik di Melbourne University.
Intimidasi dan tindak kekerasan menjelang Pemilu 1971 terjadi secara TSM alias terstruktur, sistematis, dan masif (waktu itu istilah tersebut belum dikenal). ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi alat untuk melakukan kekerasan TSM itu.
BACA JUGA:Emil Bertemu Milenial, Ajak Jangan Golput di Pemilu 2024
BACA JUGA:Raja Jogja Sri Sultan HB X Sudah Mencoblos : Warga Jogja Jangan Golput
Ketika itu tidak ada gelontoran bansos dan serangan fajar maupun serangan duha, tapi intimidasi dan penahanan serta penyiksaan oleh aparat keamanan terjadi secara masif.
Golongan putih menjadi sindiran terhadap Golongan Karya yang didirikan Soeharto sebagai mesin politik utama Orde Baru. Meski beroperasi sebagai partai politik, Golkar tidak mengaku sebagai partai.
Soeharto melakukan gerakan depolitisasi masif dengan mendiskreditkan partai politik yang dianggap sebagai biang kerok kegaduhan di era Orde Lama Soekarno.
Kata ”putih” adalah simbol memilih warna putih pada surat suara. Sekaligus sindiran terhadap warna kuning yang menjadi simbol Golkar.
Soeharto ingin memastikan bahwa pemilu pertama yang diselenggarakan pada masa kepemimpinannya bisa dimenangkan secara mutlak. Ia melakukan segala cara untuk menang. Ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk menang.
Arief Budiman dan kawan-kawan sengaja membuat gerakan golput. Menyebut dirinya ”golongan”, bukan ”partai”. Sama dengan yang dilakukan Golkar, bukan partai tapi partai.
Pemilu 1971 diikuti 10 partai yang sudah dikebiri kekuatannya secara sistematis oleh Soeharto. Bandingkan dengan Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Pada Pemilu 1971, parpol besar sudah hilang.
Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sudah dibubarkan Soeharto. Hasilnya, Golkar menang telak dengan meraih 63,8 persen suara.
Golput sekarang mau mengikuti gerakan golput 1971, tetapi gaungnya kecil. Golput masa kini tidak sepenuhnya dilakukan sebagai aktivitas politik untuk menentang kekuasaan, tetapi lebih sebagai ekspresi apatis atau malah ketidakpedulian.
Gerakan golput yang semula serius sekarang banyak dipelesetkan orang. Golput bukan golongan putih, melainkan ”golongan penerima uang tunai”. ”Gerakan” itu menjadi ekspresi kekecewaan terhadap praktik politik uang yang meluas di era reformasi.