Menyalakan Lentera Pendidikan

Minggu 15-12-2024,05:50 WIB
Oleh: Suko Widodo*

BACA JUGA:Transformasi Pendidikan Indonesia: Integrasi AI dalam Pendidikan

Sayang, apresiasi terhadap guru sering kali terjebak dalam nostalgia masa lalu tanpa diiringi dengan tindakan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 

Paradigma lama yang memuliakan guru sebagai sosok penuh dedikasi tidak sejalan dengan realitas masa kini. Yakni, banyak guru yang berada dalam situasi ekonomi sulit.

FASILITAS DAN KESEJAHTERAAN 

Menurut BPS pada 2022, jumlah guru di Indonesia mencapai sekitar 3,1 juta orang –masih jauh dari kebutuhan ideal sekitar 4,2 juta guru. Kualitas guru juga menjadi perhatian serius. 

BACA JUGA:Defeodalisasi Jabatan Publik (2-Habis): Pendidikan Modern sebagai Kunci

BACA JUGA:Indonesia Masa Depan dan Harapan Dunia Pendidikan

Hasil ujian kompetensi guru (UKG) menunjukkan bahwa sekitar 81 persen guru tidak mencapai nilai minimum yang ditetapkan. Kesejahteraan guru pun masih menjadi masalah. 

Banyak guru, terutama di daerah terpencil, menghadapi tantangan ekonomi yang memengaruhi kinerja mereka. Anggaran pendidikan Indonesia pada 2024 mencapai Rp 463,1 triliun atau 20 persen dari APBN. 

Namun, peningkatan anggaran itu belum tampak berkontribusi signifikan terhadap mutu pendidikan. 

Selain itu, kepentingan politik sering kali menyertai penggunaan anggaran pendidikan sehingga alokasi yang seharusnya untuk guru dan fasilitas pendidikan menjadi tidak optimal.

BACA JUGA:Pentingnya Pendidikan Pancasila

BACA JUGA:Mental Elite Liberalisme dalam Pendidikan Indonesia

Dalam pandangan saya, guru dalam sistem persekolahan saat ini sering kali berada dalam skema kesejahteraan yang memilukan. Tidaklah tepat jika mereka ditempatkan (dan dituntut) sebagaimana seorang begawan atau resi yang bijak bestari. 

Kasus-kasus guru yang berada pada ”survival mode” setiap hari, kekerasan dan pelecehan kepada murid, konflik antara orang tua-guru-murid, dan berbagai masalah lainnya adalah cermin dari struktur sosial masyarakat yang kurang tepat memandang pendidikan. 

Silih berganti kurikulum dan pendekatan dilakukan, tetapi tak juga menghadirkan solusi menyeluruh. Mungkinkah menggeser perspektif terhadap sistem pendidikan bisa menjadi alternatif?

Kategori :