Defeodalisasi Jabatan Publik (2-Habis): Pendidikan Modern sebagai Kunci
ILUSTARSI Defeodalisasi Jabatan Publik (2-Habis): Pendidikan Modern sebagai Kunci.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SEJARAH demokrasi dan defeodalisasi jabatan publik tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pendidikan modern di Indonesia. pendidikan modern adalah pendidikan Barat, yang mulai diterapkan di Indonesia pada masa kolonial Belanda, yaitu pada pertengahan abad ke-19.
Pada awalnya yang bisa mengakses pendidikan Barat adalah anak-anak Eropa yang tinggal bersama orang tuanya di Indonesia karena menjalankan peran penjajahan.
Anak-anak bumiputra mulai diizinkan untuk menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda pada akhir abad ke-19, dan mengalami kenaikan sejak awal abad ke-20, dengan dikeluarkannya kebijakan Politik Etis.
BACA JUGA: Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia
BACA JUGA: Demo Tegakkan Demokrasi
Pendidikan Barat yang mulai ditingkatkan drastis pada awal abad ke-20 dalam konteks politik etis ternyata memiliki pengaruh signifikan terhadap upaya menghapus feodalisme.
Golongan elite tradisional bumiputra yang telah mengenyam pendidikan Barat perlahan-lahan menyadari bahwa praktik feodalisme ternyata tidak baik dan membungkam partisipasi rakyat secara umum.
Salah seorang elite bumiputra dan merupakan pejabat publik yang secara terang-terangan melawan praktik feodalisme dalam keluarga elite Jawa adalah Cokroaminoto.
Ayah Cokroaminoto adalah Raden Mas Cokroaminoto seorang wedana di Kleco, sedangkan kakeknya adalah Raden Mas Adipati Cokronegoro, bupati Ponorogo.
Cokroaminoto digadang-gadang akan menggantikan jabatan kakeknya, menjadi seorang bupati. Selepas menimba ilmu di OSVIA pada 1902, Cokroaminoto memulai kariernya sebagai juru tulis patih di Ngawi yang dijalani selama tiga tahun.
Setelah itu, ia diangkat sebagai patih di daerah yang sama. Namun, tidak lama kemudian, ia merasa bahwa jiwanya tidak cocok dengan jabatan tersebut yang dianggapnya sangat feodal, kolot, dan kurang menghargai nilai-nilai kesetaraan.
Ia pun melepas jabatan tersebut dan lari ke Semarang, kemudian ke Surabaya. Kebenciannya terhadap feodalisme ia salurkan dengan memasuki organisasi Sarekat Islam. Ia pun menjadikan organisasi itu sebagai penyeru kesetaraan.
Kesetaraan adalah inti dari demokrasi. Sebab, dengan posisi yang setara, orang bisa menyalurkan pendapatnya dengan bebas, bisa menyalurkan suaranya secara jujur, serta bisa menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya.
Hal itulah yang diperjuangkan secara total oleh Cokroaminoto. Kehidupan harus dijalankan dengan politik sama rata sama rasa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: