Ruang publik itu, sebagaimana dijelaskan Habermas (1989:36-37), harus menjadi tempat di mana perbedaan status sosial atau stratifikasi diabaikan, tetapi mengedepankan prinsip kebersamaan dan kesetaraan.
Setiap individu diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya tentang isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun masyarakat luas.
Dalam hal ini, media sosial memegang peran penting dalam mendorong kemampuan komunikasi antar lapisan masyarakat, menciptakan ruang bagi mereka yang sebelumnya tidak terdengar.
Oleh karena itu, ruang publik yang berkembang melalui media sosial menjadi tempat komunikasi yang lebih bebas meski masih ada tantangan dalam menghindari tekanan kekuasaan atau ketidaksetaraan.
Hal tersebut tentu sejalan dengan istilah ruang publik atau dalam bahasa Jerman ”offentlichkeit” itu sendiri, yaitu keadaan yang dapat diakses oleh semua orang, menandakan sifat terbuka dan inklusif dari ruang tersebut (Hardiman, 2009:135).
Dalam media sosial, meski masih terdapat tantangan, ruang publik telah menjadi tempat yang lebih terbuka untuk diskusi dan partisipasi publik, memungkinkan terciptanya ruang bagi setiap individu untuk terlibat dalam percakapan yang lebih terbuka untuk semua pihak.
REPRESENTASI DI MEDIA SOSIAL DALAM MEMBANGUN KEBUDAYAAN DIGITAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL
Apa yang telah dijelaskan mengenai media sosial sebagai ruang publik baru untuk menciptakan keadilan ini sangat relevan dengan konsep representasi yang dikemukakan Stuart Hall.
Di media sosial, representasi budaya, identitas, dan nilai-nilai sosial tidak hanya ditentukan bagaimana sebuah pesan atau peristiwa disajikan, tetapi juga oleh bagaimana masyarakat mengkonstruksikan makna dari informasi yang disebarkan.
Hall (1997) menjelaskan bahwa representasi adalah proses penting dalam membentuk kebudayaan, yang melibatkan pengalaman bersama, bahasa, dan konsep yang dibagikan dalam suatu kelompok.
Representasi tidak hanya tentang bagaimana identitas budaya disajikan dalam teks, tetapi juga bagaimana makna dibentuk melalui produksi dan persepsi masyarakat.
Dalam konteks no viral, no justice, media sosial berfungsi sebagai ruang publik baru yang mana isu-isu sosial, seperti keadilan, bisa mendapatkan perhatian jika viral. Hal itu berkaitan dengan pendekatan reflektif dalam representasi: makna dibentuk melalui ide dan pengalaman nyata yang dibagikan oleh pengguna media sosial.
Selain itu, pendekatan konstruksionis terlihat jelas: setiap individu atau kelompok yang terlibat dalam media sosial memilih dan menetapkan makna yang mereka anggap penting untuk disebarkan ke publik.
Dalam hal ini, bahasa dan media sosial menjadi alat untuk memberikan makna unik pada karya atau pesan yang disebarkan, sesuai dengan pendekatan intensional Hall.
Lebih jauh lagi, media sosial berfungsi sebagai ruang identitas budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dan kelompok dibentuk dan dibagikan, mencerminkan proses kebudayaan yang dijelaskan oleh Hall.
Di platform ini, orang-orang membangun kebudayaan digital yang meliputi cara berkomunikasi, nilai sosial, serta pandangan terhadap isu-isu sosial yang berkembang.