Ironisnya, fenomena itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah keadilan hanya milik mereka yang mampu mengundang empati massal di dunia maya?
Seolah-olah perhatian masyarakat luas, melalui ribuan komentar, tanda suka, dan retweet menjadi syarat utama bagi roda keadilan untuk mulai berputar.
Tanpa sorotan publik di dunia maya, banyak kasus mungkin akan tetap tersembunyi, jauh dari perhatian hukum dan tanpa kejelasan bagi para korban.
Media sosial, dengan segala kekuatannya, memaksa kita untuk menghadapi kenyataan pahit: tanpa viral, tidak ada keadilan yang muncul ke permukaan.
Media sosial kian menunjukkan fungsinya sebagai tempat di mana suara-suara yang sebelumnya tak terdengar akhirnya menggema, memaksa pihak berwenang untuk bergerak.
Sebuah unggahan sederhana –lengkap dengan bukti visual atau narasi emosional– mampu menggerakkan hati ribuan orang dan menyalakan percakapan yang membakar tuntutan akan keadilan.
Hal itu sejalan dengan konsep ruang publik yang pertama digagas Juergen Habermas, seorang filsuf Jerman, yang menjelaskan bahwa ruang publik adalah sebuah arena dimana individu dapat bertukar ide, berdiskusi, dan membentuk opini publik.
Habermas juga menjelaskan bahwa ruang publik ideal adalah tempat di mana rasionalitas dan kebebasan berekspresi dapat berkembang tanpa adanya dominasi pihak tertentu.
Media sosial, dengan segala kemampuannya, dapat mempertemukan berbagai individu dari latar belakang yang berbeda, telah menciptakan sebuah ruang yang memungkinkan diskursus publik terjadi secara massal dan lebih terbuka.
Namun, dalam praktiknya, ruang publik digital itu tidak selalu bebas dari pengaruh kekuasaan atau ketidaksetaraan.
Seiring berkembangnya algoritma dan logika popularitas, diskusi di media sosial sering kali dipengaruhi tren dan opini yang didorong oleh viralitas, bukannya oleh substansi atau rasionalitas.
Habermas menekankan pentingnya diskursus rasional dalam ruang publik, tetapi di media sosial, rasionalitas sering kali digantikan oleh opini yang lebih emosional dan sensasional.
Meski demikian, media sosial tetap menjadi alat yang sangat kuat untuk menggerakkan perubahan sosial dan politik. Dari gerakan sosial yang viral hingga aksi solidaritas, media sosial memungkinkan individu untuk bersuara dan mengorganisir diri, bahkan melawan ketidakadilan yang selama ini terabaikan oleh media mainstream atau institusi yang berkuasa.
Dengan demikian, media sosial menjadi ruang publik baru yang, meskipun menghadapi tantangan, memungkinkan terjadinya dialog sosial yang lebih terbuka dan dinamis.
Hal itu membawa kita pada sebuah pertanyaan penting, apakah ruang publik digital yang terbentuk saat ini benar-benar mencerminkan ideal ruang publik yang digambarkan Habermas atau justru terjebak dalam logika komersial dan manipulasi opini?
Yang jelas, media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, berdiskusi, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik.