DI INDONESIA hari-hari belakangan ini kita disajikan dengan makin banyaknya fenomena yang menunjukkan realitas ketidakadilan yang terasa begitu nyata, tetapi seolah-olah terabaikan.
Kasus-kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan, atau konflik lainnya kerap tersembunyi di balik tumpukan masalah lain yang dianggap lebih mendesak.
Suara korban sering tenggelam, menghadapi ketidakpastian dan tidakpedulian dari pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka. Namun, segalanya berubah saat sebuah kasus menjadi viral di media sosial.
Seperti bola salju yang terus membesar, cerita-cerita yang viral di platform seperti Twitter, Instagram, atau TikTok mulai mengguncang perhatian publik.
BACA JUGA:No Viral, No Info buat Polri
BACA JUGA:No Viral, No Urus
Kasus-kasus yang sebelumnya tak tersentuh tiba-tiba menduduki puncak trending, menarik perhatian netizen, media massa, hingga para pemangku kepentingan.
Dalam situasi seperti itu, tidak jarang muncul sindiran tajam bahwa ”hukum tertinggi di Indonesia adalah viral di media sosial”.
Tidak semua memang. Namun, tidak sedikit pula terjadi, ketika sebuah kasus menjadi viral, pihak berwenang baru mulai bertindak dengan gegap gempita.
Seakan-akan keadilan bukanlah sesuatu yang diupayakan secara proaktif, melainkan sesuatu yang menunggu momentum popularitas di jagat digital.
BACA JUGA:3 Perwira Polrestabes Dilaporkan Lakukan Obstruction of Justice. Apa Itu?
BACA JUGA:Kasus Pengeroyokan Warga Klampis Berakhir dengan Restorative Justice
Fenomena itu menggambarkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam menggerakkan opini publik dan mendesak penegakan hukum.
Media sosial memungkinkan suara korban yang berharap akan keadilan yang sebelumnya terpinggirkan, seakan menemukan ruang baru melalui user generated content (UGC). Sebuah karakter utama media sosial yang memungkinkan para penggunaan menciptakan kontennya sendiri.
Menurut Nasrullah (2017:16), UGC salah satu karakteristik utama media sosial, di mana pengguna secara aktif menciptakan, memiliki, dan berbagi konten.