Kenaikan UMP 6,5 Persen, Relevankah bagi UMKM?

Kamis 19-12-2024,23:10 WIB
Oleh: Clarisa Permata Hariono Putri*

BACA JUGA:Memacu UMKM Go International: Kolaborasi Mahasiswa dengan Kantor Bea Cukai Gresik

Dengan demikian, kebijakan pengecualian terbatas bagi UMK yang memenuhi kualifikasi berdasar PP 7 Tahun 2021 dan PP Pengupahan. 

Bila hanya mendasarkan pada ketentuan normatif, secara cepat disimpulkan bahwa tidak terdapat relevansi apa pun antara ketentuan kenaikan upah dan ketentuan pengupahan bagi UMKM. 

Menurut hemat penulis, hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai suatu aturan tertulis yang berdiri sendiri, melainkan harus dipahami holistik dengan mengaitkannya pada ketentuan lain, bahkan tak jarang memandang aturan yang hidup di masyarakat (living law). 

Mendasarkan pada hal tersebut, bila menyandingkan antara ketentuan Pasal 36 PP Pengupahan dengan ketentuan kenaikan upah sebesar 6,5 persen pada Permenaker 16/2024 akan terlihat adanya keterkaitan antara kedua ketentuan. 

Sebagaimana diketahui, PP Pengupahan mensyaratkan penentuan upah UMK harus didasarkan pada persentase tertentu yang dikaitkan rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan di tingkat provinsi. 

Bila berbicara mengenai rata-rata konsumsi masyarakat dan angka garis kemiskinan, tentu mengacu dan dipengaruhi masyarakat secara luas, sehingga tidak terbatas pada masyarakat yang bekerja sebagai buruh pada UMKM. 

Rata-rata konsumsi masyarakat dan angka garis kemiskinan juga sangat dipengaruhi, salah satunya, dengan kemampuan daya beli masyarakat, yang sangat berkaitan salah satunya dengan besaran UMP yang diterima masyarakat. 

Implikasinya, walaupun kenaikan upah 6,5 persen tidak terkait langsung dengan UMKM, tidak berarti sama sekali tidak memiliki relevansi bagi penentuan upah dan kenaikan upah UMKM.  

Ketidaktepatan dalam penentuan indikator serta besaran kenaikan UMP akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat (di samping fakor lain seperti inflasi), dan berujung pada rata-rata konsumsi masyarakat dan angka garis kemiskinan yang menjadi indikator penentuan upah minimum bagi UMK. 

Pada sisi yang lain, untuk usaha menengah, sebenarnya masih terdapat problematika perbedaan pendapat, mengingat ketentuan pengecualian kenaikan UMP pada PP Pengupahan hanya bagi UMK, sehingga terdapat pandangan bahwa untuk usaha menengah, ketentuan kenaikan upah akan berelevansi secara langsung. 

Namun, ada pula pandangan yang menyatakan berlaku seperti UMK sehingga untuk pandangan yang kedua ini, bila dikaitkan dengan opini penulis, akan tetap berelevansi walau tidak secara langsung. 

Hal itu menyebabkan pemerintah perlu benar-benar berhati-hati dalam penentuan besaran kenaikan UMP, mengingat masih adanya relevansi secara tidak secara langsung antara penentuan kenaikan UMP buruh secara umum dengan penentuan dan kenaikan upah UMKM. 

Pada sisi lain, pengusaha dan buruh di sektor UMKM juga tetap perlu memperhatikan regulasi kenaikan upah yang terjadi. Sebab, secara tidak langsung tetap berelevansi dengan besaran upah sektor UMKM. (*)


*) Clarisa Permata Hariono Putri adalah dosen Lab HAN Ubaya.

 

Kategori :