Sekarang semua orang dapat membagikan keadaannya secara langsung lewat media sosial. Memungkinkan jurnalisme warga dan mengabarkan keadaan saat itu, meskipun tetap ada risiko misinformasi.
BACA JUGA:20 Tahun Tsunami Aceh, Fakta-Fakta Ketika Bencana dan Kondisi Setelahnya
BACA JUGA:20 Tahun Tsunami 2004, Kehidupan Penyitas Sudah Jauh Lebih Baik
Semenjak media sosial muncul, ada perubahan yang sangat signifikan dalam arus penyebaran informasi.
Kendatipun Facebook dan Youtube muncul di tahun 2004 dan 2005, belum ada dokumentasi tsunami Aceh yang signifikan di sana. Hanya Flickr yang memuat gambar tsunami pada masa itu.
Kini, platform seperti X, Instagram, dan Bluesky memungkinkan berbagi informasi secara instan.
"Informasi yang cepat menyelamatkan nyawa," jelas Profesor dari Northeastern University Daniel Aldrich.
Pada 2004, banyak korban di Tamil Nadu, India. Sebabnya belum ada informasi soal tsunami di sana, sehingga evakuasi di sana kurang efektif.
"Dulu hampir 6.000 orang di India tenggelam tanpa peringatan," katanya.
Kini, aplikasi seluler dan akun daring dengan cepat memublikasikan informasi tentang rumah sakit, jalur evakuasi, atau tempat perlindungan.
BACA JUGA:Pengunjung Museum Tsunami Aceh Naik Tiga Kali Lipat Jelang Pembukaan PON XXI Aceh-Sumut 2024
Kepala Jurusan Jurnalistik di University of Cincinnati Jeffrey Blevins, menjelaskan bagaimana media sosial membantu menyelamatkan nyawa.
"Media sosial bisa langsung membantu menemukan korban lain atau memberikan informasi," katanya.
Meski begitu media sosial punya sisi gelap. Disinformasi dan rumor seringkali menghambat respons bencana. Hal tersebut terjadi saat Badai Helene menghantam Carolina Utara. Karena rumor yang menyebar di media sosial bantuanpun terganggu.
"Informasi itu sangat merusak sehingga FEMA terpaksa menarik timnya," kata Aldrich.