SURABAYA, HARIAN DISWAY - Tepat dua dekade lalu, tsunami besar mengujam Aceh. Dampaknya menyebar ke berbagai negara di Samudera Hindia.
Kala itu, media sosial belum berkembang pesat seperti sekarang. Kini, platform-platform tersebut mengubah cara kita memahami dan merespons bencana, mulai dari pencarian korban hingga penggalangan dana cepat.
Ketika gempa berkekuatan 9,1 magnitudo memicu tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir pada 26 Desember 2004, lebih dari 220.000 nyawa melayang.
Saat itu, televisi, surat kabar, dan kantor berita adalah sumber utama informasi global tentang tragedi itu.
Karena keterbatasan teknologi, saat itu butuh waktu berhari-hari untuk mengabarkan dampak kehancuran di beberapa lokasi.
Mark Oberle, seorang penyintas tsunami kala itu berlibur di Pantai Patong, Thailand, ketika gelombang besar menghantam.
Lewat sebuah blog ia dikabari oleh teman, keluarga dan pengguna blog bahwa ada gempa di Indonesia.
BACA JUGA: 20 Tahun Tsunami Aceh: Warga Berjuang Hilangkan Trauma, Histeris saat Menyangka Dunia Kiamat
Kapan nelayan yang terdampar ke pemukiman setelah insiden Tsunami Aceh 2004. -Boy Slamet-
"Petunjuk pertama mengenai skala bencana, datang dari pengunjung Eropa yang menerima pesan teks dari teman di rumah," kenang Oberle.
Banyak yang awalnya mengira gempa itu hanya kecil dan lokal, padahal pusatnya berada ratusan mil jauhnya di dekat Indonesia.
Oberle berbagi foto mobil-mobil yang tersapu hingga ke hotel, jalanan yang tergenang, dan penduduk lokal melarikan diri dengan skuter.
"Blog itu saya tulis karena banyak sekali pertanyaan yang datang," ujarnya. Menurutnya membagikan pengalamannya saat kejadian bisa memberikan harapan.
Blog semacam itu membawa gelar People of the Year dari ABC News pada 2004, karena menghadirkan perspektif pribadi dari bencana.