BACA JUGA:Usai RUU TNI, DPR RI Siap Bahas RUU Polri, Kejaksaan, hingga KUHAP
BACA JUGA:Demo Jogja Memanggil Ricuh: Gas Air Mata dan Preman Bersenjata di Tengah Aksi Tolak RUU TNI
Menurut Liddle (2020), meski demokrasi di Indonesia sudah berjalan sejak era Reformasi 1998, ada ketegangan antara pemerintahan sipil dan militer yang selalu hadir dalam proses politik. Banyak pihak yang melihat bahwa jika militer diberi lebih banyak peran dalam pemerintahan, hal itu bisa merusak sistem demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Penguatan posisi TNI dalam sektor sosial dan politik dapat mengarah pada kemunduran demokrasi, bahkan mungkin memicu kembali politik otoritarian yang pernah terjadi di era Orde Baru.
Beberapa kritik terhadap UU TNI itu juga mencakup kekhawatiran bahwa pemerintahan sipil akan makin terpinggirkan dalam mengambil keputusan politik dan kebijakan publik. Dalam pandangan tersebut, UU TNI berpotensi mengurangi partisipasi masyarakat sipil dalam menentukan arah politik negara.
BACA JUGA:Meski Ada Revisi UU TNI, Puan Tegaskan TNI Aktif Tetap Dilarang Berbisnis dan Berpolitik
BACA JUGA:Pembahasan Revisi UU TNI Dinilai Tertutup, Puan Maharani: Dalam Pembahasan Selalu Ada Media
Sebab, keputusan-keputusan penting bisa didominasi kepentingan militer yang lebih berfokus pada keamanan dan stabilitas daripada pada kesejahteraan sosial atau pembangunan ekonomi (Aspinall, 2021).
PERSEPSI MENDUKUNG UU TNI: MILITER DIPERLUKAN UNTUK MEMPERBAIKI SISTEM SOSIAL-POLITIK
Di sisi lain, ada juga pandangan yang mendukung pemberian akses lebih besar bagi TNI dalam urusan pemerintahan dan sosial. Beberapa kalangan merasa bahwa militer memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menangani berbagai permasalahan sosial yang tidak mampu diselesaikan politisi sipil.
Dalam pandangan ini, TNI dipandang sebagai aktor yang lebih dapat dipercaya, terutama dalam mengatasi ketimpangan sosial yang selama ini dibiarkan para politisi sipil yang lebih mementingkan kepentingan kelompok dan golongan mereka daripada kepentingan rakyat banyak (Crouch, 2021).
BACA JUGA:Menhan Sjafrie Pastikan Tak Ada Wajib Militer dan Dwifungsi dalam UU TNI
BACA JUGA:Wakil Ketua DPR Dasco Ahmad Tanggapi Aksi Demo Tolak RUU TNI di Depan Gedung DPR
Azra (2019) menyebutkan bahwa di banyak negara dengan tradisi militer yang kuat, peran militer dalam mengelola stabilitas sosial dan politik sering kali lebih dianggap efektif, terutama ketika pemerintah sipil gagal memenuhi janji-janji mereka kepada rakyat.
Dalam konteks Indonesia, ketidakpuasan terhadap politisi sipil, yang menurut beberapa pihak lebih mementingkan keuntungan pribadi atau kelompok mereka, menjadikan militer sebagai alternatif untuk menjaga kestabilan negara dan menjalankan program-program pembangunan yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Bahkan, dalam riset oleh Mietzner (2020), ada anggapan bahwa TNI, dengan struktur organisasi yang disiplin dan sumber daya yang memadai, bisa menjadi instrumen yang lebih efektif dalam mengatasi berbagai masalah sosial seperti penanggulangan bencana, pemberantasan kemiskinan, dan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah terpencil.