HARIAN DISWAY - Apakah Anda sering merasa kesulitan mengambil keputusan, bahkan untuk hal-hal sepele seperti memilih pakaian untuk hangout? Atau bolak-balik scroll menu makanan tapi ujung-ujungnya tetap tidak tahu mau order apa?
Jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri. Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa keraguan dalam mengambil keputusan bisa menjadi tanda kecerdasan.
Penelitian yang dilakukan oleh para psikolog di Universitas Dresden, Jerman, menemukan hal menarik. Bahwa orang yang cenderung lambat dalam mengambil keputusan ternyata lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami bias konfirmasi.
BACA JUGA: Jadi People Pleaser, Ketahui Cara Halus Tapi Tegas untuk Mengatakan Tidak
Bias konfirmasi merupakan kecenderungan untuk hanya mencari informasi yang mendukung pandangan yang sudah dimiliki.
Sebaliknya, mereka lebih cenderung melihat situasi secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua informasi sebelum mengambil keputusan.
Hal itu menunjukkan bahwa keragu-raguan bisa mencerminkan kemampuan berpikir kritis dan terbuka terhadap sudut pandang yang berbeda.
BACA JUGA: Mengatasi FOMO di Musim Liburan bagi Anda yang di Rumah Saja
Dr. Jana-Maria Hohnsbehn, psikolog yang memimpin studi tersebut, menyatakan, "Pengalaman merasa ambivalen atau ragu-ragu perlu dihargai. Itu bisa menjadi sinyal bahwa situasi yang kita hadapi itu kompleks, membutuhkan pemikiran lebih mendalam."
Kondisi itu disebut sebagai ambivalensi, atau perasaan campur aduk terhadap suatu hal. Orang dengan tingkat ambivalensi tinggi cenderung butuh waktu lebih lama dalam membuat keputusan.
Tapi bukan karena mereka lemah atau takut salah. Justru karena mereka ingin mempertimbangkan semua kemungkinan sebelum mengambil langkah.
BACA JUGA: Pentingnya Afirmasi Positif Bagi Anak dan Siswa
Dengan kata lain, mereka tidak asal ambil kesimpulan cuma karena “feeling” atau kepercayaan pribadi.
Contoh Kasus: Cara Kita Bertanya Bisa Ungkap Cara Kita Berpikir
Pilihan pertanyaan bisa mencerminkan cara kita berpikir: mencari bukti atau menggali kemungkinan lain.-Jenn Miranda-
Dalam salah satu bagian studi, peserta diminta membayangkan bahwa mereka baru saja bertemu seseorang yang kemungkinan adalah orang yang ekstrovert—alias suka bersosialisasi.