Pada pasal 3 yang direvisi, ditegaskan kembali kedudukan TNI dalam struktur pemerintahan. Revisi itu menegaskan bahwa dalam penggunaan kekuatan militer, TNI tetap berada di bawah presiden.
Namun, dalam aspek kebijakan strategis, administrasi, dan perencanaan, koordinasi dilakukan melalui Kementerian Pertahanan.
Penyesuaian tersebut bertujuan memastikan bahwa kendali sipil atas militer tetap berjalan, sekaligus memperjelas hubungan antara TNI dan kementerian terkait dalam pengambilan keputusan strategis.
BACA JUGA:RUU TNI: Reformasi Mundur Teratur
Pasal 7 juga mengalami revisi yang cukup penting, terutama dalam menambahkan tugas baru bagi TNI di luar perang (OMPS). Pada UU TNI sebelum revisi, di dalam ayat 7 terdapat 14 ruang lingkup tugas TNI dalam sektor OMSP.
Setelah revisi, terdapat dua penambahan, yaitu membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Penambahan itu didasari oleh perkembangan ancaman nonmiliter yang kian kompleks dan berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Pertama, ancaman siber telah berkembang menjadi salah satu tantangan utama dalam pertahanan negara. Serangan siber yang menyasar sistem pemerintahan, sektor keuangan, hingga infrastruktur pertahanan dapat melumpuhkan sistem keamanan nasional.
Oleh karena itu, keterlibatan TNI dalam menangani ancaman siber menjadi penting, terutama dalam mendukung pertahanan negara dari serangan siber yang bersifat strategis dan melibatkan aktor-aktor asing maupun dalam negeri.
Kedua, pengamanan infrastruktur strategis nasional menjadi krusial lantaran banyak objek vital seperti pembangkit listrik, jaringan telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan fasilitas energi yang menjadi target potensial dalam situasi krisis atau konflik.
Dalam kondisi tertentu, ancaman terhadap infrastruktur itu dapat mengganggu stabilitas nasional dan memerlukan keterlibatan TNI untuk memberikan perlindungan terhadap fasilitas yang memiliki kepentingan nasional.
Ketiga, dalam perubahan pasal 7 itu, penambahan wewenang TNI dalam penyelamatan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri menjadi penting karena adanya perkembangan ancaman global seperti konflik bersenjata, serangan teroris, penculikan, dan kejahatan transnasional menuntut respons yang cepat dan terorganisasi.
Beberapa operasi penyelamatan yang pernah dilakukan, contohnya, evakuasi WNI dari Yaman (2015), Afghanistan (2021), dan Sudan (2023), menunjukkan bahwa keterlibatan TNI sangat diperlukan dalam situasi krisis.
Namun, tanpa adanya payung hukum yang jelas, TNI sering kali hanya berperan dalam aspek dukungan logistik atau evakuasi terbatas.
Saat ini keterlibatan TNI dalam operasi penyelamatan WNI masih bergantung pada kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dan organisasi internasional.
Dengan penambahan kewenangan itu, TNI dapat bertindak lebih cepat dan efektif dalam menangani situasi darurat.