Suara dalam Kepala Ciptaan NOAH: Kritik Sosial yang Berani atau Sekadar Nostalgia 2000-an?

Selasa 22-04-2025,17:00 WIB
Oleh: Teddy Afriansyah*

Overthinking knapa ku tak let go 

Pikiranku spin spin cepat like turbo

Di sini, kita melihat dua perspektif yang berbeda: Ariel mewakili sisi emosional yang tertekan, sementara Ramengvrl mewakili generasi yang lebih terbuka dalam mengungkapkan kegelisahan mental. 

BACA JUGA: Curhat dan Dampaknya untuk Kesehatan Mental, Jangan Pendam Sendirian

Salah satu bagian paling menarik adalah ketika Ramengvrl menyebut: 

Personality beda than reality

If you hate me or love me I don't give a fuck I'm me

 

Lirik yang dinyanyikan menjadi pernyataan perlawanan terhadap standar ganda masyarakat yang sering memaksa seseorang untuk memenuhi ekspektasi sosial. Namun, apakah pesan semacam ini masih segar? Atau justru sudah sering diangkat dalam musik-musik sebelumnya?

BACA JUGA: Seni sebagai Terapi, Ekspresi Diri untuk Kesehatan Mental

Kontekstualisasi dalam Industri Musik Indonesia


Kolaborasi ini hadir di tengah tren musik yang kian terbuka terhadap isu kesehatan mental.-@noah_site-Instagram

Untuk memahami sepenuhnya signifikansi "Suara dalam Kepala", kita perlu melihatnya dalam konteks perkembangan musik Indonesia dekade terakhir.

Gelombang baru musisi indie seperti Reality Club, Feast, dan Matter Mos telah lebih dulu membawa isu kesehatan mental ke mainstream dengan pendekatan yang lebih konsisten dan terintegrasi.

Kolaborasi NOAH-Ramengvrl muncul di saat yang tepat secara komersial, ketika isu kesehatan mental sedang menjadi perbincangan hangat. Namun, pertanyaannya adalah apakah ini bentuk adaptasi artistik yang tulus atau sekadar respons terhadap tren pasar?

BACA JUGA: Doomscrolling: Maraknya Informasi Negatif di Media Sosial, Picu Gangguan Mental

Band seperti NOAH yang sudah mapan memang sering menghadapi dilema antara mempertahankan identitas musikal dan tetap relevan dengan perubahan zaman.

Kategori :