HARIAN DISWAY - Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat adalah hak dari setiap warga negara. Terutama bagi negara yang menjadi penganut Pancasila, UUD 1945, dan sistem demokrasi.
Kebebasan berbicara terdapat dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian, mengeluarkan ide dan pendapat adalah hak semua orang.
Asalkan, pendapat tersebut bukan termasuk tuduhan yang tidak berdasar atau pencemaran nama baik. Kali ini, pameran seni ARTJOG karya Jompet Kuswidananto mengajak masyarakat untuk mengikuti perjalanan waktu ke masa Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun.
Orde Baru merupakan masa kepemimpinan era Soeharto sebelum era Reformasi (1998-2004). Melalui dentuman suara, Jompet Kuswidananto mengekspresikan objek seni tersebut sebagai perumpamaan suara rakyat yang bergemuruh pada masa itu sebagai bentuk dari demokrasi.
Suara rakyat tersebut menjelma dalam objek seni yang hadir di masa kini dalam pameran seni ARTJOG 2025, seperti suara tabuhan drum dan kehadiran toa.
BACA JUGA: ARTJOG 2025, Dentuman Suara Simbol Demokrasi Pasca Reformasi
BACA JUGA: Chandelier dan Nilai Religius Penduduk Banten dalam Pameran Seni Instalasi ARTJOG 2025
Fenomena ini membentuk semacam dentuman sonik dalam kehidupan urban pasca-Reformasi—yang tidak hanya keras, tapi juga sarat kepentingan antarkelompok. Keriuhan dalam kerumunan kemudian menjadi sebentuk ekspresi yang performatif: bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga mempertontonkan keberpihakan, jumlah massa, dan kemampuan menguasai ruang publik.
Objek seni ARTJOG 2025 yang menggambarkan kebebasan Demokrasi pasca Reformasi 1998. - Ilmi Bening - Harian Disway
Suara tersebut memang bukan bunyi biasa. Itu adalah lambang demokrasi dari sekumpulan orang yang tinggal di bawah naungan negara.
Jika pengunjung pameran seni ARTJOG 2025 bisa menyimak kembali sejarah pemerintahan Orde Baru yang berlangsung sebelum era Reformasi, pasti akan teringat tentang pers yang kala itu sempat dibungkam oleh pemerintahnya sendiri.
Di era Presiden Soeharto pada masa Orde Baru (1966-1998), pers dan masyarakat seolah mengalami ketergantungan dengan pemerintah.
Saat itu, pemerintah Orde Baru membuat peraturan mengenai pemberedelan (pencabutan) terhadap media yang dilakukan oleh kalangan Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Departemen Penerangan.
Mulanya, tujuan dari pembredelan yang berlangsung sejak 1960-an tersebut adalah menghapus ideologi PKI (Partai Komunis Indonesia) dan golongan pendukung Soekarno.
Namun, suatu ketika, muncul aksi demonstrasi yang berlangsung secara besar-besaran di berbagai kota besar karena munculnya rasa ketidakpuasan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah.