The Last Survivors FX Harsono di ARTJOG 2025: Saat Sunyi Lebih Lantang dari Sorak

The Last Survivors FX Harsono di ARTJOG 2025: Saat Sunyi Lebih Lantang dari Sorak

Last Survivor mengambil sudut pandang penyitas anti-tionghoa. --ARTJOG

HARIAN DISWAY - Di dalam ruang gelap yang sunyi, tiga layar besar menyala bersamaan. Bukan tontonan biasa. Ini adalah The Last Survivors (2017–2025), karya FX Harsono, seniman asal Blitar yang sejak era Orde Baru konsisten menyuarakan yang tersisih.

Karya itu bukan sekadar instalasi video tiga kanal berdurasi 11 menit. Ia adalah museum sunyi dari tiga suara tua: Tjoa Er Ries (86), Hoo Tjieng Djwan (83), dan Slamet Sungkie (92).

Mereka adalah penyintas kekerasan anti-Tionghoa pada masa Agresi Militer Belanda II antara 1948–49. Di depan kamera, mereka berkisah pelan, tak meledak-ledak. Tapi setiap kata menusuk. Tentang suami yang tak kembali. Tentang saudara yang hilang. Tentang tembakan yang menggema sebagai salam terakhir.

Di tengah denting karya kontemporer yang gemerlap, The Last Survivors hadir dengan suasana hening tapi menggetarkan. Harsono membiarkan wajah-wajah sepuh itu menatap langsung ke mata penonton.

BACA JUGA:Begok Oner di ARTJOG 2025: Puisi dalam Reruntuhan, Cahaya dari Ingatan

BACA JUGA:Pau Ma Lu di ARTJOG 2025 Membaca Keheningan Lewat Lukisan


FX Harsono menciptakan karya film kontemporer yang punya rasa. --ARTJOG

Tatapan yang tak menyalahkan, hanya meminta didengar. Tanpa narasi tambahan. Tanpa musik latar. Hanya kebenaran yang terlalu lama dibungkam.

Karya ini bermula sejak 2017, saat Harsono mulai merekam testimoni para penyintas. Banyak dari mereka kini telah tiada. Instalasi ini adalah penghormatan terakhir. Dokumentasi yang menjelma amalan, bukan sekadar arsip. Harsono menyebutnya "aksi etis": mengangkat kembali ingatan yang ditinggalkan oleh sejarah arus utama.

"Sejarah sering kali hanya ditulis oleh mereka yang menang. Tapi yang terluka juga berhak bersuara," ujar Harsono dalam salah satu diskusi ARTJOG. Baginya, seni bukan hanya untuk dinikmati, tapi dijadikan jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Tiga layar, tiga wajah, satu narasi: Indonesia yang penuh luka, tapi enggan mengakuinya. Pengunjung yang masuk ke ruang itu kerap keluar dalam diam. Ada yang duduk lama, ada pula yang menahan napas. Karya ini tidak meminta air mata, tapi menghadirkan kesadaran.

BACA JUGA:Sal Priadi Merasa Tertampar saat Mengunjungi Pameran Seni ARTJOG 2025

BACA JUGA:Secret of Eden: Ketika Akar, Bunyi, dan Luka Alam Bersatu di ARTJOG 2025

FX Harsono bukan pemain baru. Ia adalah pelopor Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia. Karya-karyanya selalu berpijak pada identitas, sejarah, dan kemanusiaan. Namun dalam The Last Survivors, ia seperti kembali ke akar: mendengar, mencatat, dan menyampaikan.

Di tengah atmosfer ARTJOG yang biasanya penuh warna dan gagasan progresif, karya ini justru menepi. Ia tidak berteriak, tapi berbisik. Dan dalam bisikan itulah, kita belajar mengenali bagian dari bangsa ini yang selama ini dibungkam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: