Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya Nanik Sukristina menjelaskan, sanksi administratif diberlakukan bagi pasien TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO) yang mangkir selama satu minggu tanpa konfirmasi.
Intervensi tersebut melibatkan kunjungan rumah oleh puskesmas dan Tim hexahelix, yang terdiri dari unsur kecamatan, kelurahan, puskesmas, Bhabinkamtibmas, Babinsa, RT/RW, tokoh agama, serta kader masyarakat.
Pemkot juga mewajibkan penduduk yang pindah masuk dari luar Kota Surabaya untuk menjalani skrining TBC di puskesmas wilayah.
"Jika pasien mangkir berobat, rumahnya akan ditempel stiker 'mangkir pengobatan'. Jika setelah tiga kali intervensi tetap tidak ada perubahan, maka dilakukan penonaktifan NIK dan BPJS," kata Nanik.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya Eddy Christijanto menyatakan, hasil skrining TBC menjadi syarat mutlak untuk pengambilan KTP.
"Misalnya, dari hasil skrining ada gejala TBC, tapi mereka tidak mau mengikuti program pengobatan pemkot, maka KTP tidak kita terbitkan," tegas Eddy.
Namun, jika pasien bersedia mengikuti pengobatan hingga sembuh, maka pembuatan KTP atau aktivasi NIK dan BPJS dapat diproses kembali. Sehingga, mereka tidak bisa melakukan pengobatan ke unit-unit faskes.
"Kalau mereka mau mengikuti pengobatan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya sampai sembuh, maka mereka tidak ada konsekuensi itu," lanjut Eddy.
Penanganan TBC di Surabaya melibatkan kolaborasi lintas sektor. Termasuk Puskesmas, Dispendukcapil, dan tim Hexahelix.
BACA JUGA:TBC Mempengaruhi Kesuburan? Ini Faktanya!
BACA JUGA:TBC Kelenjar dan TBC Paru, Apa Perbedaannya?
Data kependudukan pasien TBC yang dikelola oleh Dinkes akan diintegrasikan dengan sistem Dispendukcapil untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif.
"Ini by system, karena kewenangan TBC ini ada di dinkes termasuk puskesmas, nanti puskesmas itu yang memberikan laporan data kependudukan pasien ke kita dan nantinya akan terekam di data kita," tutup Eddy.(*)