Hari Pendidikan dan Kesadaran Kasta: Mencari Letak Jati Diri

Jumat 02-05-2025,06:00 WIB
Reporter : Fileski Walidha Tanjung*
Editor : Heti Palestina Yunani

Padahal, seperti diungkapkan Ivan Illich dalam Deschooling Society, ketika pendidikan menjadi komoditas, maka guru kehilangan martabat sebagai penjaga nurani masyarakat dan hanya menjadi pelayan dari sistem produksi manusia terstandar. Pendidikan pun kehilangan rohnya, menjadi pabrik penghasil “tenaga kerja” dan bukan “manusia seutuhnya”.

BACA JUGA: Peringati Hardiknas 2025, Mendiktisaintek Tegaskan Komitmen Penuhi Tunjangan Profesi dan Kinerja Dosen

Saya katakan kepada Aldiano, bahwa menjadi guru bukan jalan untuk kaya raya, tetapi jalan untuk memperkaya jiwa. Bahwa hidup seorang guru—dan seharusnya juga dokter, seniman, ilmuwan, dan pendeta—bukanlah hidup dalam logika akumulasi materi, tapi pengabdian.

Seorang guru yang terobsesi dengan kekayaan akan membawa pendidikan menuju jurang komersialisasi yang menindas, sebagaimana seorang dokter yang haus materi akan menjadikan kesehatan sebagai hak eksklusif kaum kaya. Ketika brahmana menjadi waisya, sistem akan runtuh.

Namun, siapa yang bisa disalahkan ketika masyarakat menilai keberhasilan dari jumlah mobil dan rumah mewah? Masyarakat yang kehilangan kesadaran ini tidak hanya salah memilih pemimpin, tetapi juga salah menakar tentang keberadaan guru.

BACA JUGA: Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dan Hak Rakyat atas Pendidikan

Mereka memandang guru yang sederhana sebagai gagal, dan memuliakan selebritas Instagram yang kaya dari konten-konten kosong. Dalam struktur sosial seperti ini, pertanyaan Aldiano adalah cermin: apakah kita benar-benar memahami siapa yang seharusnya kita hormati?

Sayangnya, kita hidup di zaman di mana setiap orang ingin menjadi apa saja, kecuali dirinya sendiri.Yang bukan pemikir, bicara seolah bijak. Yang tidak pernah membaca, menghakimi seolah ahli. Yang seharusnya berdagang, malah ingin menjadi pejabat. Yang seharusnya mendidik, sibuk jadi pedagang. Dunia menjadi terbalik.

Thomas Eliot pernah menulis, “We had the experience but missed the meaning.” Kita mengalami kemajuan ekonomi dan teknologi, tapi kehilangan arah moral dan kebijaksanaan. Maka, bukan hanya sistem sosial yang kacau, tapi juga pendidikan yang kehilangan tujuan esensialnya.

BACA JUGA: Sempurnakan Pendidikan dan Keterampilan Bagi yang Tidak Sempurna


Ketika masyarakat memuliakan kekayaan dan gaya hidup glamor, pendidikan kehilangan tujuannya, dan guru dianggap gagal hanya karena hidup sederhana.-Odua Images-

Pendidikan nasional, dalam refleksi Hari Pendidikan Nasional ini, seharusnya tidak hanya diukur dari hasil ujian, akreditasi, atau indeks literasi.

Pendidikan harus berani bertanya: Apakah murid-murid kita sedang tumbuh menjadi manusia? Apakah mereka sedang disiapkan untuk mengenal jati diri mereka, dan bukan sekadar dipaksa menghafal daftar profesi berpenghasilan tinggi?

Jika demikian, maka pertanyaan Aldiano tidak perlu dijawab dengan marah. Ia justru perlu dirayakan sebagai momen pencerahan. Sebab, seperti kata Nietzsche, “Semua kebenaran yang agung dimulai sebagai penghujatan.”

BACA JUGA: Belajar di Tiongkok, Guru Indonesia Perkenalkan Budaya Nusantara

Pertanyaan Aldiano mungkin tampak sinis, tapi ia membuka ruang kesadaran baru: bahwa tidak semua orang harus menjadi kaya, dan tidak semua yang tidak kaya adalah gagal.

Kategori :