HARIAN DISWAY - Gaung perjuangan musisi Indonesia menggema di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), 8 Mei 2025.
Vibrasi Suara Indonesia (VISI), sebagai representasi suara para pelaku seni pertunjukan, kembali membawa aspirasi mereka dalam sidang pendahuluan Perbaikan Permohonan Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC).
Sidang itu mencakup dua perkara. Yakni perkara Nomor 28 dan 37/PUU-XXIII/2025, yang keduanya berangkat dari kegelisahan para penyanyi profesional terhadap sistem lisensi langsung (direct licensing).
BACA JUGA:Chua dan Tantri Kotak Paparkan Pentingnya Dunia Digital dalam Industri Musik
Sistem itu dinilai merugikan hak dan eksistensi mereka sebagai pelaku utama dalam mempopulerkan lagu. “Sidang perkara Nomor 28 dan 37 Rabu, 7 Mei 2025, dibuka untuk umum,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membuka jalannya sidang yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta.
Salah satu sorotan dalam sidang itu adalah kesaksian dari dua figur penting dunia musik Tanah Air: Tantri Kotak dan Hedi Yunus.
Keduanya menyampaikan langsung dampak nyata dari implementasi sistem perizinan lagu yang tidak berpihak pada pelaku pertunjukan.
Tantri terpaksa menghentikan pertunjukan beberapa lagu Kotak. Karena adanya somasi dari mantan rekannya yang menciptakan beberapa lagu tersebut.-@tantrisyalindri-Instagram
BACA JUGA:Suara Kreatif yang Perlu Dilindungi: Dari Sound Horeg hingga Hak Cipta
Tantri, misalnya, menyatakan bahwa ia terpaksa menghentikan pertunjukan beberapa lagu Kotak ciptaan eks-rekannya, karena adanya larangan keras hingga somasi.
Lagu-lagu yang sejatinya membentuk identitas musikalnya kini tak lagi bisa dinyanyikan di atas panggung.
Sementara itu, Hedi Yunus dari grup legendaris Kahitna turut membagikan kisahnya yang tak kalah memilukan.
BACA JUGA:Sound Horeg Dapat Hak Cipta, Begini Tanggapan Pemerintah
Ia menyebut dirinya harus menyetop membawakan lagu Melamarmu, meskipun karya itu telah melekat erat dengan namanya di mata publik. Ancaman hukum dan ketidakjelasan legalitas membuatnya gamang untuk terus berkarya.
VISI menilai bahwa hal itu bukan hanya masalah personal. Melainkan problem struktural dalam perlindungan hukum terhadap musisi.