PERANG TARIF yang ditabuh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tampaknya belum menunjukkan babak akhir. Gedung Putih memberikan masa tenggang selama 90 hari sebelum efektif penerapan tarif baru yang diberlakukan pada sejumlah negara yang terkena tarif timbal balik sesuai yang tercantum dalam tabel United States Trade Representative (USTR).
Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada negara lawan dagang AS untuk mengevaluasi tarif resiprokal yang ditetapkan Washington, apakah bersedia menerima tarif baru, melakukan negosiasi, ataukah menolak dengan melakukan tarif balasan.
Jika melakukan respons retaliasi, tentu saja konsekuensi berupa ancaman tarif tambahan akan menanti. Itu sudah ditunjukkan Washington kepada Beijing yang mengambil langkah melawan dengan tarif balasan.
BACA JUGA:Trump 2.0 dan Hubungan Indonesia-AS Pasca Keanggotaan BRICS
BACA JUGA:Indonesia Gabung BRICS: Poros (Ekonomi) Jakarta-Beijing-Moskow Jilid 2?
Pada konteks ini, sangat gamblang bahwa Trump ingin mendikte arah dan ritme perdagangan global sesuai dengan format dan keinginan syahwat proteksionismenya. Pasca kemenangannya atas Kamala Harris di kontestasi pilpres AS, publik dunia seakan telah membaca dan meyakini ke mana arah kebijakan ekonomi dan politik Washington selama empat tahun ke depan.
Bahkan, tidak sedikit yang berpendapat bahwa perubahan orientasi kebijakan politik luar negeri dan ekonomi Trump akan membawa potensi konflik yang merusak tatanan perdagangan internasional dan ketidakpastian yang berkelanjutan.
Pasca lengsernya Donald Trump saat dikalahkan Joe Biden 20 Januari 2020, Bureau of Economic Analysis (BEA) Departemen Perdagangan AS pada Juli 2023 merilis kinerja transaksi perdagangan AS dengan seteru bebuyutannya, Tiongkok.
BACA JUGA:Tantangan Indonesia setelah Gabung BRICS
BACA JUGA:BRICS dan Reorientasi Arah Kebijakan Pasar Ekspor
Hasilnya, pada 2022 hubungan dagang AS-Tiongkok menciptakan perputaran uang lebih dari USD 690,5 miliar. AS mencatatkan kinerja ekspor sebesar USD 153,8 miliar, namun impor mencatatkan kinerja buruk dengan angka USD 536,7 miliar.
Tampak sangat jelas bahwa AS harus rela mengakui bahwa Washington mencatatkan besaran angka defisit yang amat besar dari hasil perdagangan bilateral tersebut. Bahkan, di penghujung 2022, tepatnya Desember 2022, angka defisitnya kian meningkat USD 3 miliar dolar, menjadi USD 22,8 miliar.
Ekspor ke Tiongkok terpantau menurun USD 1 miliar, menjadi USD 12,6 miliar. Sebaliknya, impor dari Tiongkok tersebut meningkat USD 2 miliar, menjadi USD 35,4 miliar. Secara keseluruhan, total defisit neraca perdagangan AS terhadap Tiongkok mencapai USD 948,1 miliar, meningkat USD 103 miliar atau 12,2 persen (yoy).
BACA JUGA:Deklarasi Kazan: Rivalitas Hegemoni Ekonomi BRICS versus G-7?
BACA JUGA:Sat-set, BRICS