“Alhamdulillah, sejauh ini lancar belum ada kendala,” ungkap Sahrul. Ia sendiri sudah berpengalaman melayani jamaah haji setiap musim haji sejak 2017. Tentu, ada banyak hal yang dirasakan, termasuk tantangan yamg berbeda tiap tahun.
BACA JUGA:Jamaah Haji Asal Makassar Wafat Usai Berjuang Lawan Diabetes
Pada musim haji kali ini pun demikian. Petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH) berkomitmen menyediakan makanan khas Nusantara. Konsekuensinya, durasi memasak lebih lama dari biasanya.
Sebab, kata Sahrul, resep masakan Nusantara memang lebih kompleks ketimbang masakan Timur Tengah. Dalam satu menu, misalnya, terdapat tiga bumbu yang mesti diproses. Berbeda dengan menu Arab yang bumbunya lebih simpel.
Untungnya, pekerjaan mereka kini bisa jauh lebih ringan karena pemerintah Indonesia lewat BPKH Limited mendatangkan 475 ton bumbu instan langsung dari Indonesia.
BACA JUGA:Jamaah Haji Lansia dan Risti Disarankan Tetap di Bus saat Ambil Miqat di Bir Ali
“Tahun lalu kita racik sendiri semua dari awal, bisa makan waktu lima jam. Sekarang cukup tiga jam,” jelas lelaki 38 tahun asal Lombok, NTB, itu.
Sehingga sisa waktu lainnya bisa untuk pengemasan. Termasuk untuk istirahat bagi semua crew. Tetapi, saat puncak haji, terutama di Mina, tantangan juga meningkat. Semua serba cepat dan tidak bisa mengandalkan bumbu instan.
Kalau di Mina harus dadakan semua. Harus racik sendiri dari awal karena situasinya berbeda. Jam kerja pun berubah. Sebab, harus menyediakan 5.000 porsi setiap hari.
BACA JUGA:Laporan Haji dari Makkah (2): Bus Shalawat Penyelamat Jamaah Tersesat
Hampir tidak ada waktu istirahat. Meski demikian, ia tetap menjalaninya dengan ikhlas. “Tidur paling lama cuma dua jam. Bergantian,” jelas bapak satu anak itu.
Sahrul dan Toha adalah pekerja tetap di jaringan restoran milik Raghaeb, syarikah penyedia katering haji. Ketika musim haji selesai, keduanya kembali bekerja di restoran yang memiliki tujuh cabang di Arab Saudi.
BACA JUGA:Aroma Nusantara di Makkah, Begini Proses Makanan Disiapkan untuk Jamaah Haji Indonesia
Sahrul mengaku banyak suka duka yang ia lalui selama belasan tahun bekerja di Tanah Suci. Jauh dari keluarga memang yang paling berat. “Tapi melihat jamaah makan dengan lahap, rasanya senang dan puas. Semoga ini jadi ladang amal,” ucapnya.
Setiap dua tahun sekali, Sahrul dan Toha pulang ke kampung halamannya di Banten selama tiga bulan. Meski sudah 15 tahun berada di Makkah, Toha baru sekali menunaikan ibadah haji, begitu pula Sahrul. “Nggak sempat karena memang ada pekerjaan. Tapi semoga bisa lagi, mohon doanya,” tutur Sahrul pelan. (*)