SURABAYA, HARIAN DISWAY – Pernah menonton adegan di film fiksi ilmiah ketika seorang karakter kehilangan lengan, lalu tak sampai sejam tangannya tumbuh kembali? Atau dalam game, saat luka tembak di perut sembuh hanya dengan suntikan atau semprotan gel biru?
Dulu itu terasa fiktif. Sekadar ilusi visual yang memuaskan imajinasi. Tapi di sebuah laboratorium di Universitas Airlangga, harapan seperti itu perlahan mengambil bentuk yang lebih nyata. Bukan untuk gaya-gayaan. Tapi untuk menyelamatkan nyawa. Dan semua itu dimulai dari keresahan akan satu hal: kurangnya donor organ.
Setiap hari, setidaknya ada 19 orang yang meninggal di Indonesia hanya karena tidak mendapatkan organ pengganti yang sesuai. Ginjal, kornea, atau pembuluh darah.
Saat itulah Prof Prihartini Widiyanti, Guru Besar Unair, memutuskan untuk mencari jalan lain. Jika manusia sulit mendapatkan organ dari manusia lain, mungkin saatnya manusia membuat organ itu sendiri. Bukan sekadar ilusi atau proyek muluk-muluk. Namanya: rekayasa jaringan.
BACA JUGA:Prof Muhammad Madyan Terpilih Menjadi Rektor Unair Periode 2025-2030
BACA JUGA:Orasi Ilmiah Guru Besar Unair Prof Lilis: Semua Bisa Terpapar Mikroplastik
Prof Prihartini Widiyanti atau akrab dipanggil Prof Yanti sedang mengembangkan rekayasa jaringan untuk kebutuhan medis di masa mendatang. -Alfi Kirom-HARIAN DISWAY
Kini, di bawah mikroskop dan di dalam ruang bersuhu stabil, Prof Yanti—begitu ia biasa dipanggil—bersama timnya tengah mengembangkan berbagai organ buatan. Di antaranya: pembuluh darah sintetis (vascular graft), selaput otak buatan, hingga kornea dan daun telinga yang dibuat dari komposit polimer.
Rekayasa jaringan ini bukan hanya soal “menempelkan” sesuatu ke tubuh. Tapi menciptakan bagian tubuh baru yang bisa menyatu, tumbuh, dan berfungsi. Tentu tidak semudah membalik tangan.
Butuh pemahaman detail mengenai struktur tiap jaringan. Misalnya otot, kornea, atau pembuluh darah, semuanya memiliki komposisi, tekstur, dan fleksibilitas berbeda.
"Kalau ingin mengganti jaringan otot, maka kita harus merekayasa bahan yang bisa meniru cara otot berkontraksi dan berelaksasi. Tapi kalau kornea, prioritasnya adalah transparansi dan ketahanan terhadap goresan," begitu penjelasan Prof Yanti dalam sebuah forum ilmiah.
BACA JUGA:Inilah Tiga Calon Rektor Unair 2025–2030
BACA JUGA:6 Guru Besar Baru UNAIR Segera Dikukuhkan
Ilustrasi membuat produk rekayasa jaringan. --evms.edu
Itulah mengapa dalam setiap tahap pengembangan di lab, semua aspek harus diperhitungkan. Mulai dari bahan penyusun polimer, kemampuan menyerap obat, hingga sejauh mana tubuh manusia bisa menerima zat asing itu tanpa menolaknya.
Saat ini, uji coba masih dilakukan pada hewan, seperti kelinci dan tikus. Namun hasilnya menjanjikan. Pada percobaan jaringan pembuluh darah dan organ dalam, dalam waktu dua minggu hingga beberapa bulan, jaringan buatan bisa menyatu dan berfungsi dengan baik.
Adaptasinya berlangsung alami. Tubuh hewan tidak mengalami penolakan signifikan. Tapi ada satu tantangan besar: jaringan saraf.
Berbeda dengan jaringan lain yang bisa beregenerasi dalam hitungan minggu, saraf tumbuh sangat lambat. Bahkan dalam kondisi optimal, saraf hanya tumbuh sekitar 0,001 milimeter per hari.
BACA JUGA:Kisah Nathan dan Tristan, Saudara Kembar Lolos SNBP Unair 2025
BACA JUGA:SNBP Unair 2025: Hanya 8,37% yang Lolos, Perempuan Mendominasi! Ini 10 Prodi Terfavorit
Artinya, untuk pulih sepenuhnya dari cedera saraf parah, butuh waktu bertahun-tahun. Inilah yang membuat pengembangan rekayasa jaringan saraf menjadi pekerjaan jangka panjang.
Dan itu belum termasuk risiko komplikasi seperti trombus—penyumbatan darah—yang bisa terjadi jika struktur organ buatan tidak sesuai alur pembuluh asli tubuh. Maka dari itu, detail teknis menjadi pertaruhan. Sekecil apapun salah hitung, bisa fatal.
Meski belum bisa dipakai secara massal, proyek tersebut akan membawa harapan besar. Proyek Prof Yanti bukan sekadar proyek kampus. Dengan itu menyimpan harapan besar untuk masa depan.
Bayangkan, suatu hari, seseorang yang kehilangan penglihatan bisa kembali melihat berkat kornea sintetis. Atau pasien gagal ginjal tak lagi harus menunggu donor, karena ginjal buatan bisa dikembangkan secara personal.
BACA JUGA:Tiga Kandidat Berebut Kursi Rektor Unair, Adu Gagasan demi Masa Depan Kampus
BACA JUGA:Golden Ticket Unair 2025: Harapan, Prestasi, dan Penantian Menuju Kampus Impian
Bahkan dalam skenario lebih jauh, organ hasil rekayasa bisa dibuat berdasarkan sel tubuh pasien sendiri. Artinya, tidak hanya kompatibel, tapi juga minim risiko penolakan.
“Yang kami butuhkan sekarang adalah sinergi,” kata Prof Yanti. Ia berharap, proyeknya tak hanya berhenti di Unair. Tapi juga mendapat dukungan dari instansi lain: rumah sakit, laboratorium farmasi, bahkan ahli bioteknologi.
Karena dalam dunia medis, tak ada pahlawan tunggal. Semua adalah kerja kolaboratif. Seorang dokter butuh perawat. Perawat butuh alat. Dan alat butuh ilmu untuk diciptakan.
Dari laboratorium Unair inilah, mimpi-mimpi tentang tubuh manusia yang bisa pulih seperti dalam film mulai dihidupkan. Perlahan. Ilmiah. Tapi tetap penuh harapan. Bukan lagi fiksi. Tapi sains yang mengetuk pintu masa depan. (*)