6 Guru Besar Baru UNAIR Segera Dikukuhkan

6 Guru Besar Baru UNAIR Segera Dikukuhkan

Enam guru besar baru UNAIR siap dilantik pada 24 April 2025. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Selalu ada cerita di balik gelar. Termasuk di balik gelar tertinggi di dunia akademik: Guru Besar. Di Universitas Airlangga (UNAIR), gelar itu bukan hanya tanda kehormatan.

Tapi juga bentuk tanggung jawab. Dan Selasa siang itu, 22 April 2025, ruang Amerta di lantai 4 Gedung Manajemen Kampus C UNAIR, menjadi saksi lahirnya enam tanggung jawab baru.

Dipandu langsung oleh Rektor UNAIR Prof. Mohammad Nasih, konferensi pers pengukuhan enam guru besar digelar sederhana tapi penuh makna.

Ia menyebut, ini adalah awal dari tradisi baru: pengukuhan guru besar secara paralel. “Idealnya, jumlah guru besar di UNAIR 20 persen. Saat ini baru 17 persen. Tapi ini sudah cukup bagus,” katanya.

BACA JUGA: Spaghetti Bolognese, Cita Rasa Kreasi Mahasiswa Manajemen Perhotelan Unair

BACA JUGA: Kisah Nathan dan Tristan, Saudara Kembar Lolos SNBP Unair 2025


Hari Basuki Notobroto menyampaikan ringkasan orasi ilmiahnya pada Selasa 22 April 2025. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY

Sebuah langkah progresif di tengah tantangan. Enam nama yang dikukuhkan bukan orang sembarangan. Mereka adalah Lilis Sulistyorini dan Hari Basuki Notobroto dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Prawati Nuraini dari Fakultas Kedokteran Gigi, Esti Yunitasari dan Yuni Sufyanti Arief dari Fakultas Keperawatan, serta Dwi Winarni dari Fakultas Sains dan Teknologi.

Mereka tidak datang dengan toga. Tapi datang dengan pemikiran. Hari Basuki Notobroto adalah salah satunya. Guru besar baru dari Fakultas Kesehatan Masyarakat ini membuka orasi ilmiahnya dengan keresahan statistik rutin yang kurang pemanfaatannya.

BACA JUGA: SNBP Unair 2025: Hanya 8,37% yang Lolos, Perempuan Mendominasi! Ini 10 Prodi Terfavorit

Angka-angka itu, menurutnya, tidak cuma bicara soal ekonomi atau politik. Tapi juga tentang perut anak-anak, kadar gula orang tua, dan tekanan darah masyarakat urban. Dalam kata lain kesehatan masyarakat. “Statistik kesehatan kita menunjukkan peningkatan pada dua sisi yang seharusnya berlawanan: stunting dan kelebihan gizi,” ungkap Hari.

Itulah ironi data yang ia soroti. Bahwa di saat kita masih bergelut dengan balita yang kekurangan gizi, di saat yang sama kita juga menghadapi lonjakan kelebihan berat badan pada kelompok lain. Sebuah paradoks yang, menurutnya, harusnya bisa dicegah—asal datanya digunakan dengan benar.

Masalahnya, data statistik yang ada sering kali hanya dikumpulkan, bukan diolah. Dipajang, bukan dimaknai. “Padahal data itu seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan, terutama dalam mencegah masalah kesehatan masyarakat,” tegasnya.

BACA JUGA: Tiga Kandidat Berebut Kursi Rektor Unair, Adu Gagasan demi Masa Depan Kampus

Di sinilah pentingnya optimalisasi statistik rutin. Menurut Hari, data yang tersedia bisa menjadi alat prediksi. Bisa mengarahkan kebijakan. Bahkan bisa menghindarkan kita dari krisis kesehatan di masa depan. Sayangnya, data itu sering dianggap angin lalu.

“Bahkan kualitas datanya masih asal-asalan,” ujarnya getir. Kritik itu bukan untuk menjatuhkan. Tapi justru untuk membangun. Hari percaya, dengan kolaborasi antar instansi dan komitmen untuk memperbaiki kualitas data, Indonesia bisa menyusun strategi kesehatan yang jauh lebih presisi.

Dan hari ini, dari balik podium kecil di ruang Amerta, kritik itu disampaikan dengan tenang. Tanpa emosi. Tapi dalam. Begitulah semangat para guru besar baru UNAIR. Mereka tak hanya berdiri di menara gading, tapi turun dengan gagasan. Bukan sekadar menambah angka gelar, tapi memperkaya cara pandang.

BACA JUGA:Golden Ticket Unair 2025: Harapan, Prestasi, dan Penantian Menuju Kampus Impian

Karena pada akhirnya, gelar guru besar bukan soal siapa yang paling pintar. Tapi siapa yang paling peduli pada problem masyarakat—dan berani bicara. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: