Intimidasi Opini Publik: Demokrasi yang Terbungkam

Minggu 15-06-2025,13:38 WIB
Oleh: Galang Geraldy*

Laporan SAFEnet (2024) dan AJI (2023) secara konsisten menunjukkan peningkatan tajam dalam serangan digital, doxing, dan ancaman hukum terhadap jurnalis, aktivis, dan individu yang menyuarakan kritik terhadap kekuasaan negara. 

Insiden seperti penemuan kepala babi di kantor redaksi Tempo pada Maret 2025 (Tempo.co, 2025), meskipun menargetkan jurnalis, menunjukkan pola intimidasi simbolis yang mengerikan untuk menciptakan rasa takut dan membungkam suara-suara kritis publik.

Intimidasi terhadap suara-suara kritis adalah bentuk represi halus (soft repression) yang dapat melumpuhkan partisipasi warga negara dalam kontrol terhadap kekuasaan. 

Situasi itu kemudian menimbulkan pertanyaan besar: apakah menyuarakan kritik kini dianggap berbahaya di negeri ini? 

Padahal, konstitusi Indonesia telah menegaskan jaminan terhadap kebebasan berekspresi. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa ”setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” 

Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang mana pasal 19 menjamin bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta gagasan dalam bentuk apa pun, tanpa campur tangan.

DEMOKRASI YANG TERBUNGKAM

Kasus itu memiliki implikasi yang sangat mengkhawatirkan bagi iklim kebebasan berekspresi dan demokrasi di Indonesia, yang secara langsung menciptakan chilling effect atau iklim ketakutan. 

Suasana psikologis politik yang seperti itu membatasi diskusi publik yang sehat dan konstruktif serta menghambat peran media sebagai pilar keempat demokrasi. 

Maka, membaca intimidasi terhadap jurnalis dan penulis opini bukan hanya pelanggaran terhadap kebebasan individu, tetapi juga bentuk delegitimasi terhadap prinsip demokrasi deliberatif (Habermas, 1996). 

Kebebasan berbicara, menyampaikan gagasan tertulis, adalah prasyarat mutlak dalam pembentukan opini dan kehendak kolektif publik. Habermas mengingatkan bahwa kebebasan berbicara bukan hanya hak, melainkan juga syarat rasionalisasi ruang publik. 

Di dalamnya, perdebatan, kritik, dan opini adalah alat untuk mengoreksi kekuasaan dan mencegah kekeliruan politik. Sebaliknya, setiap tindakan intimidasi adalah sabotase terhadap logika demokrasi itu sendiri. 

Di situlah Hannah Arendt (1958) menekankan bahwa ruang publik adalah arena appearance, tempat warga menunjukkan eksistensinya secara politik. Ketika negara atau kekuatan dominan membungkam suara tersebut, yang lahir bukan demokrasi, melainkan totalitarianisme dalam bentuk baru. 

Lebih lanjut, John Stuart Mill (1859) dalam On Liberty menyatakan bahwa mengekang pendapat, betapa pun kontroversialnya, adalah tindakan yang membahayakan karena menghentikan proses pembelajaran kolektif. 

Dengan demikian, intimidasi terhadap YS adalah tindakan antidemokratis yang tidak hanya membungkam satu individu, tetapi juga merampas hak masyarakat sebagai subjek atas artikulasi politik dan wacana kritis. 

Di dalam konteks demokrasi kontemporer, fenomena itu menyerupai apa yang disebut Levitsky dan Ziblatt (2018) sebagai ”demokrasi yang mati secara perlahan” –negara tidak serta-merta berubah menjadi otoriter, tetapi lembaga-lembaga demokrasi dilemahkan secara sistematis, salah satunya dengan menekan kebebasan pers dan masyarakat sipil. 

Kategori :