UJIAN kematangan sebuah bangsa dan proses bernegara ini tidak lepas dari keterbukaan terhadap dialektika suara publik. Salah satu bentuknya, seberapa jauh kekuasaan dikontrol melalui nalar dan tulisan-tulisan kritis publik.
Kita mengenal Tirto Adhi Soerjo yang secara tajam mengkritik ketidakadilan kolonial, membongkar praktik korupsi, dan membangkitkan kesadaran pribumi melalui media Medan Prijaji (1907).
Tulisannya yang sering kali provokatif dan berani menjadikannya target pengawasan dan represi pemerintah kolonial. Selain Tirto, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno dan Mohammad Hatta memanfaatkan tulisan sebagai medium kritik.
BACA JUGA:Pancasila di Reruntuhan Demokrasi
BACA JUGA:Media Jurnalistik Berguguran di Negara Demokrasi
Melalui artikel-artikel di majalah dan pidato yang kemudian dibukukan, mereka menggaungkan semangat nasionalisme, mengkritik imperialisme, dan menyerukan kemerdekaan. Tulisan-tulisan itu menjadi fondasi ideologis perjuangan kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan, ruang kritik publik mengalami pasang surut. Pada awal Orde Lama, kebebasan pers relatif terbuka. Itu memungkinkan berbagai pandangan politik bersaing.
Namun, seiring berjalannya waktu dan munculnya konsep ”Demokrasi Terpimpin” di bawah Soekarno, ruang kritik mulai menyempit. Pers nasional diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan kritik yang dianggap ”kontrarevolusioner” sering kali ditindak.
BACA JUGA:Demokrasi di Persimpangan: Prabowo, Jokowi, dan Masa Depan Politik Indonesia Pascatransisi Kekuasaan
BACA JUGA:Bayang-Bayang Militer: Keseimbangan Demokrasi
Meski demikian, beberapa intelektual dan seniman tetap berusaha menyuarakan kritik meski dengan risiko. Sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer, melalui karya-karyanya, acap kali menyentil isu-isu sosial dan politik meskipun secara tidak langsung.
Era Orde Baru (1966–1998) di bawah kepemimpinan Soeharto dikenal sebagai periode represif terhadap kritik publik. Pemerintah mengontrol ketat media massa melalui surat izin terbit (SIT) dan pencabutan izin. Banyak jurnalis dan penulis yang dipenjara, diintimidasi, atau dibungkam.
Kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Di dalam narasi tersebut, negara diposisikan sebagai entitas absolut yang tak boleh digugat, dan rakyat hanya sebagai objek, bukan subjek dalam proses politik.
BACA JUGA:Revisi UU TNI: Modernisasi atau Ancaman bagi Demokrasi?
BACA JUGA:UU TNI, RUU Polri, dan Kegelisahan Sipil Merawat Demokrasi