Hiruk-Pikuk Pelanggaran Hak Cipta Lagu

Rabu 25-06-2025,15:00 WIB
Reporter : Sendy Krisna Puspitasari*
Editor : Heti Palestina Yunani

Nama-nama musisi seperti Ahmad Dhani, Armand Maulana, hingga Ikke Nurjanah tercatat sebagai musisi yang vokal memperjuangkan keadilan hak kekayaan intelektual dan keadilan royalti.

Melalui berbagai aksi hingga gerakan kolektif seperti Vibrasi Suara Indonesia (VISI), mereka menuntut tata kelola royalti yang transparan dan sistem perlindungan hak atas kekayaan intelektual yang adil bagi seluruh insan musik.

BACA JUGA: Ini Tanggapan DJKI soal Dugaan Pelanggaran Hak Cipta Lagu ‘Apa Sih’ Milik Radja

Namun, tidak semua musisi sepakat. Ada juga yang kontra. Beberapa contohnya adalah sikap Rian D'masiv serta Ian Kasela Radja muncul sebagai suara yang berbeda dan penuh pertimbangan. B

erbeda dengan beberapa musisi yang lebih vokal memperjuangkan hak atas kekayaan intelektual dan royalti secara ketat, kedua musisi menilai bahwa pemisahan hak dan keuntungan antara pencipta lagu dan musisi mampu berpotensi menimbulkan konflik yang merugikan ekosistem musik.

Baginya, aturan yang terlalu kaku seperti larangan membawakan lagu tanpa izin langsung dari pencipta mampu menghambat perkembangan industri musik serta mengurangi keberagaman ekspresi musikal yang selama ini menjadi kekayaan karya musik di negara Indonesia. Musik adalah ruang kreativitas yang seharusnya tetap terbuka selama mekanisme royalti dan hak cipta tetap dihormati.

BACA JUGA: Kawal Revisi UU Hak Cipta di DPR, Melly Goeslaw Tegaskan Dukungan untuk Pekerja Seni

Pendekatan kolaboratif menjadi solusi konstruktif dibandingkan penegakan hak atas kekayaan intelektual yang kaku dan berpotensi memecah belah para musisi dan seluruh insan musik. Perlu bersatu memperbaiki sistem royalti yang ada agar lebih transparan dan adil.

Oposisi Biner LMKN vs AKSI


Perbedaan tafsir soal izin dan distribusi royalti menimbulkan ketegangan antara LMKN dan AKSI sebagai representasi dua kepentingan besar.--Getty Images Signature

Perdebatan sengit antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) mencerminkan persoalan mendalam pengelolaan hak atas kekayaan intelektual dan royalti. Oposisi biner bukan sekadar perbedaan secara teknis melainkan arena perebutan kuasa yang menguji keadilan dan keberlanjutan ekosistem musik.

LMKN merupakan lembaga resmi yang diberi kewenangan negara dalam mengelola hak ekonomi atas ciptaan musik dengan sistem kolektif. Ini sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

BACA JUGA: DJKI: Kafe, Pub, hingga Konser Cukup Sekali Bayar Royalti Lagu Lewat LMKN

Melalui LMKN, royalti dari penggunaan lagu di ranah publik dikumpulkan dan didistribusikan kepada pencipta dan pemilik hak tanpa perlu izin langsung dari pencipta setiap kali lagu dibawakan.

LMKN menekankan profesionalisme dan transparansi, serta berupaya memaksimalkan distribusi royalti melalui digitalisasi demi menciptakan sistem yang efisien dan terjangkau bagi musisi dan penyelenggara acara.

Keberadaan LMKN pun kemudian menjadi sorotan di tengah hiruk pikuk royalti. Sejumlah musisi yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) mengajukan uji materi pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

BACA JUGA: Menteri Hukum Terima Audiensi Agnez Mo dan Musisi Terkait Sistem Royalti

Kategori :