Kelompok sembilan mengalami disfungsi sistem saraf pusat yang parah, ditambah dengan kerentanan terhadap pemikiran psikotik paranoid. Hal itu menciptakan kecenderungan membunuh atau tindakan brutal ketika mereka merasa terancam.
Jelasnya, pada kelompok sembilan, tinggal di rumah tangga psikotik, mereka sering menjadi korban dan saksi kemarahan orang tua psikotik. Pengalaman itu tidak diragukan lagi memperburuk kecenderungan mereka terhadap ekspresi kekerasan fisik.
Apakah kelompok sembilan merendahkan korban mereka? Jawaban, tidak dapat ditentukan. Jika memang demikian, kerentanan neuropsikiatri yang diidentifikasi secara objektif itu tidak diragukan lagi berkontribusi pada distorsi realitas mereka.
Temuan bahwa orang tua dari kelompok sembilan seringkali psikotik dan suka melakukan kekerasan dapat menjelaskan studi-studi sebelumnya yang bertujuan mendokumentasikan predisposisi genetik terhadap kekerasan.
Pada studi-studi sebelumnya terhadap sampel besar individu antisosial telah mengungkapkan, faktor keturunan secara signifikan lebih mungkin menjadikan anak-anak antisosial, bahkan ketika dibesarkan terpisah dari orang tua kandung.
Orang tua dari sembilan pembunuh itu suka melakukan kekerasan dan, meskipun catatan kepolisian tidak tersedia, periset menduga banyak yang pernah berkonflik dengan hukum. Begitu pula anak-anak mereka.
Riset tersebut menegaskan, masa kanak-kanak menuju manusia dewasa sangat penting. Di sanalah proses pembentukan karakter anak menuju manusia dewasa. Jika salah didik pada masa itu, menghasilkan orang dewasa yang berbahaya. Bahkan, di saat remaja pun mereka sudah bertindak kejahatan kekerasan, pembunuhan.
Jika ada asumsi bahwa pembunuh berasal dari keluarga miskin, sesungguhnya tidak ada riset yang menyatakan kemiskinan keluarga berkorelasi terhadap perilaku pembunuhan. Namun, bisa saja terkait.
Misalnya, suatu keluarga dalam situasi kondisi miskin, pasti mereka tertekan dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar hidup. Di saat psikologis mereka tertekan, kemudian lepas kontrol emosional. Jadi pemarah, bahkan bertindak kekerasan terhadap anak-anak.
Pada belasan tahun kemudian, ketika anak-anak berusia remaja, dampak negatif situasi kondisi ortu yang bertindak kekerasan itu muncul. Dalam bentuk kenakalan remaja. Di antaranya, kenakalan luar biasa. Misalnya, bertindak brutal atau membunuh orang lain.
Ketika remaja nakal luar biasa, ortunya kaget atas tindakan anak jadi pembunuh. Umumnya mereka tidak tahu, itu akibat perilaku mereka yang kasar di masa lalu. Atau mungkin mereka sudah lupa.
Riset tersebut membantu masyarakat dalam mendidik anak-anak. Supaya mereka tidak menciptakan bom waktu.
Di kasus Bandung belum ada riset, siapa dan bagaimana pelaku di masa lalu? Bagaimana keluarganya? Dari usianya ia masih remaja, ia belum lama meninggalkan masa kanak-kanak. Masa terpenting manusia di saat balita atau belasan tahun silam bagi pelaku Tino. Apa yang dialaminya pada masa itu?
Dari riset tersebut, bisa disimpulkan, tindakan brutal seperti pembunuhan tidak akan pernah habis dari masa ke masa. Selalu terjadi regenerasi pembunuh.
Remaja pembunuh bakal menjadi ortu yang kasar. Ortu kasar menghasilkan calon pembunuh baru. Begitu seterusnya. Namun, ilmu pengetahuan bisa memutus mata rantai kejahatan. Jika diterapkan secara benar. (*)