Salsa, DPR, dan Tren Baru Aspirasi Publik: Dari Jalanan ke Arena Debat

Selasa 02-09-2025,06:00 WIB
Oleh: Ulul Albab*

BACA JUGA:Rumah Anggota DPR RI Sahroni Digeruduk Massa, Isi Rumah Dijarah

SALSA: DIASPORA SEBAGAI SUARA MORAL

Dalam situasi itulah, muncul Salsa Erwina. Ia bukan politikus, bukan pula pejabat, melainkan diaspora Indonesia yang kini tinggal di Denmark. 

Reputasi dia dibangun dari dunia akademik: mewakili Indonesia di lomba debat dunia di Berlin (2012), juara Asia Pasifik di Nanyang Technological University, Singapura (2014).

Tantangan debatnya kepada DPR tidak sekadar keberanian personal, tetapi menjadi simbol bahwa suara rakyat bisa datang dari mana saja. Bahkan, dari luar negeri, diaspora dapat menjadi ”cermin moral” bagi bangsa. 

BACA JUGA:NasDem Copot Ahmad Sahroni dari Wakil Ketua Komisi III ke Komisi I DPR

BACA JUGA:Ramai Seruan Bubarkan DPR, Ahmad Sahroni: Kritik Silakan, Jangan Berlebihan

Penelitian oleh Gamlen (2014) dalam International Migration Review menegaskan bahwa diaspora sering memainkan peran penting dalam mengoreksi arah kebijakan negara asal. Sebab, mereka melihat persoalan dengan perspektif global dan relatif lebih bebas dari tekanan politik domestik.

Salsa mengingatkan kita bahwa demokrasi sejatinya bukan monopoli pejabat atau elite politik. Demokrasi adalah milik setiap warga negara.

SIMBOLIS: DAVID VS GOLIATH

Fenomena Salsa vs DPR menghadirkan kisah klasik David melawan Goliath. Di satu sisi, ada pejabat berkuasa dengan fasilitas, panggung, dan legitimasi formal. Di sisi lain, seorang warga biasa menantang dengan argumen, data, dan keberanian moral.

BACA JUGA:Sahroni: Seruan Bubarkan DPR Mental Orang “Tertolol Sedunia”

BACA JUGA:Sahroni Hujat Hakim PN Surabaya yang Memvonis Bebas Pelaku Pembunuhan Pacar: Anda Sakit dan Memalukan!

Yang menarik, respons Ahmad Sahroni justru menghindar dengan alasan ”masih bego” dan ”perlu bertapa dulu biar pintar”. Reaksi itu mempertegas jurang antara ekspektasi publik akan akuntabilitas dan kenyataan anggota dewan yang menghindari ruang diskursus.

Dalam teori demokrasi deliberatif, Habermas (1996) menekankan bahwa kualitas demokrasi tidak diukur dari seberapa sering rakyat memilih, tetapi seberapa jauh ruang publik memungkinkan pertukaran argumen yang rasional. 

Ketika anggota DPR menolak forum debat terbuka, mereka justru abai terhadap prinsip deliberasi yang menjadi jiwa demokrasi itu sendiri.

Kategori :