Selain itu, Mahfud menekankan bahwa Indonesia punya kewajiban internasional untuk melaksanakan aturan ini. Indonesia sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption pada 2003, yang kemudian disahkan lewat UU Nomor 7 Tahun 2006.
“Kita sudah membuat janji hukum dengan dunia internasional melalui ratifikasi itu. Konvensi PBB mewajibkan tindakan tertentu, termasuk perampasan aset hasil kejahatan. Jadi UU ini memang harus ada, karena sudah merupakan kewajiban hukum kita,” tandas Mahfud.
BACA JUGA:RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas Pekan Depan, DPR RI Bakal Ajukan Rancangan Baru
Riwayat RUU Perampasan Aset:
2008
Diinisiasi oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dengan mengadopsi The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan Non-Conviction Based Forfeiture dari negara penganut Common Law.
2010
RUU Perampasan Aset selesai dibahas antarkementerian.
2011
RUU Perampasan Aset diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
2012
Naskah akademik disusun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
2015
DPR pernah memasukkannya ke daftar Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019.
2019
RUU Perampasan Aset diusulkan ke DPR. Tapi ditangguhkan hingga 2021 karena saat itu terjadi pergantian periode keanggotaan dewan
2020