BACA JUGA:Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (1): Krisis Literasi, Krisis Regulasi...
BACA JUGA:Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (2): Mustahil Hidup Penulis Cuma Ditopang Royalti
“Hampir semua tokoh ini punya luka,” ujarnya. “Luka masa kecil, luka dari keluarga, dan dari lingkungan. Tapi luka itu menjadi daya dorong untuk menjadi perempuan yang lebih kuat.”
Ia juga menyoroti pilihan bahasa dari para penulis yang sangat berbeda. Tentang cerpen karya Wina, ia mengatakan, “Tokohnya, Rinai, memakai diksi elegan. Pemilihan warna merah marun tersurat dalam cerpen, dalam kalimat: merah marun, warna darah yang sudah lama berhenti mengalir di hatiku," paparnya.
Don menambahkan bahwa warna merah marun juga menunjukkan kematangan tokohnya.
Sebaliknya, dalam judul lain, keberadaan tokoh Dini digambarkan dengan bahasa yang kasar namun menyayat. Padahal, Rinai dan Dini sama-sama perempuan penghibur. Hanya saja, kelasnya beda. Penulisnya juga beda.
BACA JUGA:Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (3): Buku Harus Masuk Jasa Publik, Biar Bebas Pajak
BACA JUGA:Bedah Buku Pater Fritz Meko: Kembara Pikiran, Catatan Harian Seorang Imam Katolik
Don lantas membacakan kalimat-kalimat dalam cerpen berjudul Pedoman Ibu Teladan yang tokoh utamanya Dini tersebut. “Apakah orang tuamu sedemikian bangsat?" katanya.
Pemilihan diksi itu menjadi petunjuk bagi pembaca bahwa Dini hidup dalam keluarga yang tidak baik-baik saja. Bahkan, cenderung penuh kekerasan yang kemudian membentuk psikologi tokoh.
NI KOMANG ARIANI diapit Wina Bojonegoro (kiri) dan Ninuk Retno Raras dalam peluncuran Jumat, 12 Desember 2025. -Saffanah Indah Fitrizahrani-Harian Disway
Secara khusus, Don membahas Warisan karya Ninuk dan Mata-Mata di Kepala karya Komang. Namun, ia juga menyorot cerpen karangan Ana Ratri Wahyuni yang judulnya Pesan untuk Ratri.
Menurutnya, seni montro yang merupakan perpaduan antara seni gerak, mantra, dan salawat, seharusnya bisa dituliskan lebih detail.
BACA JUGA:Genap 17 Tahun, Elena Hendropurnomo Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Citrus Society
Adegan ketika tokoh utama melakukan gerakan seni montro di tengah hujan dianggap sangat kuat dan simbolik, meski penggambarannya dinilai terlalu pendek.
Rumpun Kupu-Kupu adalah antologi tentang para perempuan yang punya luka. "Tapi, saya juga mendapatkan benang merang soal para tokoh yang keras kepala. Mereka berusaha menyelesaikan masalah mereka sendiri," papar Don.
Rumpun Kupu-Kupu adalah sarana untuk memberikan ruang kebebasan bagi perempuan. Mereka bisa menyampaikan hal-hal yang selama ini tidak dapat mereka ungkapkan di ruang publik maupun media sosial, lewat cerpen atau tulisan.
Sebanyak 12 tulisan karya 12 penulis perempuan itu adalah wadah bagi kejelasan yang personal, rapuh, tetapi juga penuh kekuatan. (*)
*) Reporter Magang Kemenaker RI