Tongkat NU

Selasa 30-12-2025,07:19 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Jika islah hanya sebagai solusi konflik dimaknai tanpa pembelajaran kelembagaan, kontrak sosial itu berisiko aus. Tapi, kalau islah diposisikan sebagai jeda moral memperbaiki tata kelola, memperjelas mekanisme check and balance, dan memperkuat etika komunikasi internal, NU bisa memperbarui kontrak sosialnya tanpa kehilangan jati diri.

Seusai kesepakatan islah Gus Yahya dengan rais aam di Lirboyo, ada peristiwa epik yang bisa jadi perlambang. Gus Yahya dengan tergopoh-gopoh menyerahkan tongkat rais aam yang tak sengaja tertinggal. Mengapa rais aam lupa dengan tongkatnya? Mengapa tongkat ada di dekat Gus Yahya?

Yang pasti, konflik PBNU itu menunjukkan satu hal penting. NU masih punya ”tongkat” penyangga sosial-budaya yang kokoh. Tongkat itu bernama tradisi islah. Namun, tongkat tidak cukup hanya digenggam. Ia harus diarahkan.

Islah bukan titik akhir. Ia adalah restart kontrak sosial. Gus Yahya diuji tidak hanya untuk berdamai, tetapi juga untuk memimpin NU memasuki fase baru. Fase saat kearifan kultural NU bertemu tuntutan tata kelola modern.

Jika itu berhasil, NU tidak hanya akan tetap NU. Ia akan menjadi NU yang lebih dewasa, lebih tangguh menghadapi konflik, dan tetap relevan di tengah dunia yang berubah cepat –tanpa kehilangan akarnya.

Mungkin di sinilah makna terdalam islah kali ini. Bukan sekadar berangkulan. Tapi, juga memperpanjang umur kontrak sosial NU di zaman yang makin riuh. Di zaman yang penuh guncangan. Dengan islah, tali atau ikatan dalam lambang NU tak akan mengguncang bumi di dalam lebih dahsyat.

Dari jauh, saya ikut tersenyum melihat dua kawan saya, Gus Yahya dan Gus Ipul, berangkulan kembali. Melu seneng, Gus! Nek gojekan yang menyenangkan saja. Ojok sampai kebablasan. Jangan yang mengocok emosi warga nahdliyin. (*)

Kategori :