Transformasi dan Kemandirian Pesantren

Transformasi dan Kemandirian Pesantren

Harian Disway - SANTRI dan pesantren kini kian dikenal masyarakat. Itu tak lepas dari ditetapkannya Hari Santri yang diperingati tiap 22 Oktober. Santri dan pesantren pun kian diperhitungkan dan menjadi perhatian banyak pihak. Tak terkecuali pemerintah.

Adanya Perpres No 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren, misalnya. Pada perpres itu, pemerintah membentuk dana abadi pesantren. Dana abadi tersebut menjadi bagian dari dana abadi pendidikan yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Pemerintah juga membuat berbagai program untuk pesantren. Bukan hanya program pendidikan, melainkan juga ekonomi. Di antaranya, pada program pemulihan ekonomi nasional (PEN) di tengah pandemi Covid-19, pemerintah menyediakan anggaran sekitar Rp 2,38 triliun. Dana sebesar itu diberikan kepada lebih dari 21 ribu pesantren, 62 ribu madrasah, dan 112 ribu lembaga pendidikan Al-Qur’an (LPA).

Pemerintah, melalui Bank Indonesia (BI), juga memberikan perhatian cukup besar kepada pesantren. Pada gelaran tahunan International Sharia Economic Festifal (ISEF), pesantren selalu dilibatkan. Termasuk pada acara ISEF ke-8 yang digelar 27–30 Oktober ini di Jakarta.

Salah satu tema yang selalu diangkat pada acara ISEF hingga ke-8 ini adalah kemandirian ekonomi pesantren. Meski selama ini terbukti bahwa pesantren sudah cukup mandiri, adanya tantangan ke depan mengharuskan pesantren lebih mandiri. Salah satu caranya adalah mengembangkan usaha di pesantren yang memiliki potensi sangat besar.

 

Mudah Bertransformasi

Wajar bahwa pesantren lebih diperhatikan pemerintah. Sebab, pesantren merupakan institusi pendidikan yang sangat penting di Indonesia. Muncul sejak awal abad ke-18, pesantren tetap eksis di tengah perubahan zaman yang cepat. Pada 2020, Kementerian Agama RI mencatat jumlah pesantren di Indonesia mencapai 28.194. Sebanyak 6.017 di antaranya berada di Jawa Timur. 

Eksistensi pesantren memang luar biasa. Banyak pesantren yang telah berusia dua hingga tiga abad dan tetap eksis hingga sekarang. Di antaranya adalah PP Sidogiri Pasuruan yang berdiri pada 1718, PP Miftahul Huda Malang pada 1768, PP Al-Hamdaniyah Sidoarjo dan PP Darul Ulum Banyuanyar tahun 1787, serta PP Termas Ponorogo tahun 1830.

Keberhasilan pesantren mempertahankan eksistensinya adalah kemampuannya melakukan transformasi menyesuaikan perkembangan zaman dan kebutuhan  santri (Dhofier, 2010). Perkembangan membuat pesantren kini memiliki tiga model. Pesantren salaf (tradisional), pesantren khalaf (modern), dan pesantren terpadu atau campuran. Yang menarik, jumlah terbanyak adalah pesantren salaf (Muhtarom, 2005: 265).

Pesantren bisa bertransformasi karena memiliki fleksibilitas yang luar biasa. Mengikuti tuntutan lulusan, misalnya, pesantren berusaha membekali santri dengan pengetahuan, skill, dan teknologi (Isfannah, 2012). Kunci sukses yang lain adalah kemampuan pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan biaya murah. Itu sesuai dengan kebanyakan santri yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, tetapi menginginkan pendidikan yang bagus.

Karena itu, banyak pesantren yang menggali sumber pendapatan sendiri guna menyubsidi biaya operasional pesantren. Salah satunya adalah mendirikan unit usaha pesantren. Banyak pesantren di Indonesia yang memiliki unit usaha. Bentuk dan jenisnya bermacam-macam. Dan sebagian besar belum dikelola secara profesional.

Sebagian unit usaha pesantren dimiliki pengasuh (kiai) meski hasilnya digunakan untuk menyubsidi operasional pesantren. Sebagian yang lain dimiliki yayasan, koperasi pesantren, atau pesantren secara langsung. Dari sisi skala, sebagian besar adalah usaha mikro-kecil dan menengah. Sebagian besar dikelola seperti usaha rumah tangga. Sedikit di antaranya sudah dikelola secara professional sehingga perkembangan usahanya tidak optimal.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: