Desa Wisata Dusun Jeding: Ajak Masyarakat Desa Kembangkan Ekoenzim

Desa Wisata Dusun Jeding: Ajak Masyarakat Desa Kembangkan Ekoenzim

PARA mahasiswa KKN dari Unitomo mendengarkan penjelasan dari Tjuplik Astuti (dua kiri) sebelum membuat ekoenzim. -Fransiskus Xaverius Guruh Wicaksono untuk Harian Disway-

BATU, HARIAN DISWAY- Dusun Jeding, Desa Junrejo, Kota BATU, memiliki banyak bahan baku pembuatan ekoenzim. Daerah itu memiliki ladang jeruk. Banyak jeruk yang berjatuhan. Juga, bahan baku lainnya. Itu membuat Tjuplik Astuti tidak pusing mencari bahan untuk membikin ekoenzim. 

-----

LANGIT yang cerah perlahan berubah menjadi oranye. Perlahan, rembulan pun menampakkan wajahnya. Kini, waktu yang tepat bagi Tjuplik mencari bahan baku ekoenzim. Tujuan utamanya adalah pasar buah. Lalu, ke pedagang kaki lima yang menjual jus buah.

Terkadang, dia juga mengambil beberapa sayuran di pasar yang sudah tidak dipakai. Ada tiga bahan dasar untuk membuat ekoenzim. Hanya memerlukan kulit buah atau sayuran, gula merah atau sari tebu, dan air. Semua itu dicampurkan ke dalam sebuah wadah dengan racikan khusus.

Kulit buah yang digunakan jangan yang keras. Misalnya, kulit durian. Kalau nanas masih bisa. Kadang ibu satu anak itu minta bahan baku tersebut ke rumah makan. Hanya, kualitasnya jelek. Sebab, sudah menyatu dengan sampah lainnya.

Ekoenzim yang dibuat itu hanya dibagikan kepada tetangga. Namun, ketika itu saudara sepupu Tjuplik marah. Ia adalah Welly Susanto. Ia menyarankan agar ekoenzim itu dijual saja. Tapi, jangan dengan harga yang mahal. Sebab, pembuatannya juga butuh modal.

”Eman, lek gak didol (sayang kalau tidak dijual),” ujar Welly kepada sepupu istrinya itu. Suatu saat Welly bertemu temannya, Anggara Jaya Wardhana, di Batu. Anggara merupakan junior dari Andi Boeng, teman dekat Welly. Itulah awal perkenalan mereka.

Ia menceritakan pekerjaan yang dilakukan tantenya kepada Anggara. Gayung bersambut. Akhirnya, Welly dikenalkan kepada Dibsuwanto. Ia merupakan pemilik ladang jeruk yang luasnya sekitar 900 meter persegi. Sang pemilik kebun langsung mengajak Welly ke kebunnya.

Ia melihat banyak jeruk yang dibiarkan berjatuhan di ladang itu. Iseng Welly bertanya kepada pemilik lahan untuk menghilangkan rasa penasarannya. ”Pak, kenapa jeruknya dibiarkan berjatuhan. Kenapa tidak diambil,” tanya pria berusia 47 tahun itu kepada Dibsuwanto.

Guru di SMP Negeri 2 Batu itu menjelaskan bahwa buah yang sudah jatuh tidak bagus untuk dikonsumsi. Dengan demikian, dibiarkan saja hingga menjadi pupuk alami. ”Tapi, kan kalau jadi pupuk alami itu membutuhkan waktu yang sangat lama,” batin Welly.

Seolah Dibsuwanto mengetahui isi hati Welly. Saat itu warga Desa Junrejo tersebut menjelaskan, memang dibutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, ia sendiri masih bingung, buah yang berjatuhan tersebut akan digunakan untuk apa.


PARA mahasiswa KKN dari Unitomo memasukkan ramuan pembuatan ekoenzim. Proses ekoenzim membutuhkan waktu tiga bulan. -Fransiskus Xaverius Guruh Wicaksono untuk Harian Disway-

Tanpa instruksi, bapak dua anak itu langsung menceritakan ekoenzim yang sedang dikembangkan Tjuplik. Karena itu, Welly pun berniat untuk mengembangkan ekoenzim tersebut di Dusun Jeding. Rencana itu langsung disampaikan kepada Dibsuwanto.

Pemilik lahan pun setuju dengan ide tersebut. Niat itu langsung disampaikan kepada saudara sepupunya yang tinggal di Jalan Aryobebangah, Waru, Sidoarjo, tersebut. Bersyukur, saat itu ada mahasiswa Universitas dr Soetomo (Unitomo) yang sedang menjalankan kuliah kerja nyata (KKN) di desa itu.

”Kami langsung bekerja sama dengan mahasiswa Unitomo yang sedang KKN. Mereka juga langsung membuat ekoenzim dari bahan jeruk yang melimpah di Dusun Jeding. Walau hanya 10 hari, mereka sangat antusias belajar,” bebernya.

Sumber: