Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Hujan Semalam Mudahkan Pendakian (1)
PENELITI SENIOR Hadi Sidomulyo memimpin rombongan Mapala di Gunung Penanggungan, Minggu, 14 Agustus 2022.-Yusuf Dwi/Harian Disway-
Kabut menyambut penjelajah situs Pawitra di Ubaya Training Center, Minggu, 14 Agustus 2022. Waktu menunjuk pukul 08.00. Suhu di bawah 16 derajat Celsius. Masih cukup dingin untuk kami yang terbiasa dengan suhu Surabaya.
Sisakabut masih bertahan. Semalaman, kawasan Trawas, Kabupaten Mojokerto, diguyur hujan. Peserta jelajah sudah sibuk sejak subuh. Pukul 09.00 semua sudah berkumpul di pendopo Ubaya Training Center (UTC). Beberapa logistik untuk bekal saat mendaki juga telah dipersiapkan. Salah satu peserta bergotong royong merapikan kembali barang bawaan ke dalam carrier.
Doa khidmat menjadi pembuka perjalanan kami. Saya ikut bergabung bersama rombongan peserta di 75 mahasiswa pencinta alam (mapala) dari 13 universitas di Indonesia. Peserta diangkut truk milik TNI sampai ke jalur pendakian Kedungudi.
TRUK PENUH dengan rombongan Mapala dari 13 kampus.jpeg-Yusuf Dwi/Harian Disway-
”Anda mapala juga?” tanya seorang peserta yang duduk di samping saya.
Saya memang suka gunung. Namun, bukan pendaki aktif yang rutin menjelajah. Selama masa kuliah dulu, saya juga tidak bergabung dengan mapala. Boleh dikatakan, gunung dengan ketinggian 1.653 meter di atas permukaan laut itulah yang menjadi pendakian pertama saya hingga ke puncak.
Pendakian via Kedungudi diawali dengan menyusuri jalur yang melewati kebun jagung dan kebun tebu hingga menyeberangi sungai mati. Setelah itu, perjalanan memasuki area hutan yang didominasi pohon-pohon tinggi serta jalan setapak.
Jalur pun mulai menanjak ringan di kilometer awal. Belum apa-apa napas sudah ngos-ngosan. Saya jadi minder dengan peserta yang sudah sangat terlatih itu.
Festival Penanggungan tersebut bertajuk Pawitra Pradaksinapatha. Digelar pada 13 hingga 15 Agustus 2022 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur dengan menggandeng Universitas Surabaya (Ubaya).
Secara etimologi, kata Pawitra berarti Gunung Penanggungan dan Pradaksinapatha berarti berjalan melingkar searah jarum jam.
Setelah ada kebakaran pada 2015, peneliti dari UTC menemukan jalur kuno tersebut. Jalur yang diduga menjadi akses utama yang dibuat masyarakat zaman dulu untuk mempermudah melakukan pertapaan.
Menurut penduduk, jalur dengan panjang 6 kilometer yang memutari badan gunung itu disebut juga sebagai jalur kuda. Bisa dibilang cukup landai dengan lebar jalan sekitar 1,5 hingga 3 meter. Dahulu para peziarah menggunakan kuda atau kereta kuda untuk meditasi serta membuat pemujaan di candi-candi sampai ke puncak Gunung Pawitra.
Namun, sebelum ke sana, saya disuguhi medan yang terjal di lereng gunung dengan kemiringan sampai 70 derajat. Sesekali saya harus berhenti untuk beristirahat sambil kembali mengatur napas.
”Kalau kayak gini, kita harus sambil bercanda dikit biar gak kerasa perjalanannya,” kata Kusworo Rahadyan dari tim ekspedisi Ubaya. Kusworo mencoba menyemangati. Ia begitu tangguh. Seperti sudah terbiasa melintasi jalur itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: