Catatan dari Pameran Seni Lukis Nasional ”Bias Borneo” (3); Poros Baru di Tanah IKN

Catatan dari Pameran Seni Lukis Nasional ”Bias Borneo” (3); Poros Baru di Tanah IKN

Pelukis Banjarmasin Nanang M Yus di depan karya Nasirun dari Yogyakarta yang terbagi dalam beberapa panel.--

Menurut Yaksa kehadiran nama-nama itu semacam tanda. ”Sebagai jejak awal pameran seni ini adalah salah satu agenda yang ditunggu-tunggu di kota yang selama ini mungkin dianggap di luar peta seni rupa,” paparnya.

Terkait Bias Borneo, Diah yang membawa karyanya berjudul Isyarat Meratus, merasakan bahwa Borneo tak bisa dilepaskan dari proses berkreativitasnya selama ini. Berayah Jawa dan beribu Banjar, Diah seolah coming home dalam Bias Borneo. 

Pernah 18 tahun tinggal di Kalimantan Selatan, lalu 31 tahun terakhir di Yogyakarta, Diah merasa mengingat ibunya dengan karyanya itu. Juga ayahnya, Budhi Santoso, lulusan ASRI angkatan 1963, yang sempat mendirikan sanggar lukis anak di Banjarmasin.

”Jejak berkesenian ayah sangat kuat. Ia yang melukis diorama di Monumen Mathilda di Tanah Laut. Karena ayah, setelah lulus SMA, saya diantarkan ke Yogyakarta untuk kuliah di ISI,” terangnya.

Maka Bias Borneo -menurut Diah- bisa menghapus batas yang selama ini disangka ada. Bila dia diperkenalkan sebagai pelukis Yogyakarta, namun sesungguhnya jejak Borneo lebih dulu ada dalam sejarah hidupnya. 
Penulis dengan karya Diah Yulianti –pelukis Yogyakarta berdarah Banjar- berjudul Isyarat Meratus.--

”Perjalananku hingga saat ini dari apa yang sudah di tanam oleh Mama dan Ayahku, Mbak. Karena tak sempat hadir, tolong sampaikan ke dingsanak sabarataan. Salam hangat. Teruslah berjuang, Karya adalah kita,” ungkap Diah, kepada saya dalam perbincangan di WhatsApp.

Respons Diah itu menjadi gambaran bahwa sematan pada judul, asal, nama, atau latar belakang apa pun biasanya melebur dalam seni rupa. Di wilayah itu, spirit dan nilailah yang dipentingkan.

Saya melihat Bias Borneo punya makna dan arti pada masing-masing yang terlibat. Bila saat ini belum menyentuh semua pihak yang seharusnya berperan, inilah pijakan yang memicu untuk menggalang partisipasi pada perhelatan selanjutnya.

”Setelah pameran, yang kami tunggu-tunggu ya respons semua orang agar makin mendukung semangat kawan-kawan di daerah. Seni rupa terbukti ora mung Jogja Jakarta melulu. Bias Borneo ini bisa diproyeksikan sebagai rintisan membentuk ibu kota seni rupa di Kalimantan Selatan. Setidaknya yang dekat dengan IKN,” ujar Yaksa.

Bahkan setelah sukses menggelar Bias Borneo, IPKS bagai disulut bara. Ada ide bertaraf nasional lagi yang ingin digagas yaitu ArtKalsel. Dimulai dengan pameran perupa perempuan yang dikomando Mbak Melati Yusuf. ”Kalimantan Selatan butuh provokasi yang positif. Bias Borneo menjadi pijakan yang potensial untuk memulainya lebih kencang,” tandasnya. (Oleh: Redaktur Harian Disway, Penulis, Humas Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Jatim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: