Video Game Tiongkok Serbu Eropa

Video Game Tiongkok Serbu Eropa

PERMAINAN KOMPUTER yang masih sangat ramai di sebuah warung internet di Beijing, akhir 2021, setelah Tiongkok mengumumkan pelarangan game baru.-GREG BAKER-AFP-

TIONGKOK adalah negara dengan produksi game yang begitu besar. Meskipun di dalam negeri sendiri permainan digital itu sedang dilarang agar tidak terlalu meracuni mental generasi muda. Maka, tak heran para produsen itu melirik pasar luar negeri.

Kabar dari Agence France-Presse, para produsen game Tiongkok berinvestasi besar-besaran di Eropa. Padahal, Eropa dan Tiongkok sejatinya kurang akur. Hubungan mereka tidak hangat. Terutama karena Benua Biru itu kerap mengusung isu soal lingkungan, kekayaan intelektual, keamanan dalam negeri, sampai hak asasi manusia.

Para produsen game itu memang tak bisa menolak godaan pasar negeri. Sebab, distribusi di Tiongkok sedang dibatasi. “Eropa punya gagasan tersendiri mengenai game. Memisahkan industri strategis dan non-strategis. Video game termasuk non-strategis,” kata Antonia Hmaidi, pakar dari the Mercator. 

Salah satu yang menyambut peluang besar itu adalah Tencent, salah satu produsen game terbesar di Tiongkok. Mereka bahkan ingin mengakuisisi perusahaan studio game di seluruh Eropa. Sampai perusahaan besar di Finlandia, Supercell, yang terkenal karena game ponsel Clash of Clans.

Saingan Tencent di dalam negeri, NetEase, juga melirik peluang yang sama. Mereka menyatakan ingin membeli saham perusahaan Prancis, Quantic Dream. Keputusan itu selang beberapa hari setelah Tencent menyatakan eksistensinya pada perusahaan game Ubisoft dan beberapa produsen lain di Prancis.

Para produsen Eropa pun menyambut baik langkah ekspansi itu. Sebab, uang yang ditawarkan developer Tiongkok juga tak sedikit. Dan tak dimungkiri bahwa uang besar itu bisa membuat perusahaan game tersebut jauh lebih besar.

Negara-negara Eropa pun tak ambil pusing. Misalnya, saat Tencent membeli perusahaan Inggrus, Sumo, seharga USD 1,3 miliar atau sekitar Rp 15 triliun. Yang menyetujui pembelian itu bukan regulator Inggris, melainkan Amerika Serikat.

Perusahaan game di Tiongkok memang harus ekspansi ke negara lain untuk menutup kerugian di dalam negeri. Misalnya, Tencent yang sempat mencatatkan kerugian pada Agustus.

Akar permasalahannya adalah pemerintah Tiongkok membatasi aktivitas video game yang dianggap membahayakan. Ancamannya tidak hanya pada kekuasaan negara, tetapi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.

Bahkan, tahun lalu pemerintah Tiongkok sempat melarang peluncuran game baru selama sembilan bulan. Kini sudah agak bebas. Namun, seleksinya masih sangat ketat. Hanya beberapa developer yang boleh merilis game anyar.

“Sebenarnya, perusahaan game bisa menjangkau lebih jauh lagi mengingat pembatasan yang ada di pasar domestik,’’ kata Louise Shorthouse dari Ampere Analysis.

Tahun lalu, Tencent sudah berancang-ancang menanamkan uangnya di pasar asing. Tidak hanya perusahaan besar yang mereka kejar. Bahkan, perusahaan kecil juga mereka incar.

“Sebenarnya Tencent memiliki beban tersendiri sebagai perusahaan. Uang adalah beban mereka,” kata Kevin Shimota, mantan manajer pemasaran di perusahaan dan penulis The First Superapp.

“Pasar game di Tiongkok sedang susah sekarang. Tencent punya strategi sendiri untuk menjaring pasar global. Perkiraan saya, Tencent akan lebih beringas melakukannya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: