Komplotan Serial Killer Berdrama, tapi Sia-Sia

Komplotan Serial Killer Berdrama, tapi Sia-Sia

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Fadil: ”Rekening tersangka kami periksa. Aliran uang masuk ada yang sampai Rp 250 juta, ada yang Rp 180 juta.”

Jumlah uang yang diblokir lebih dari Rp 1 miliar. Tapi, itu hasil sementara. Masih terus ditelusuri polisi. Juga, belum diperiksa, uang pasien yang diterima pelaku selain Dede.

Dari sembilan korban tewas, cuma dua yang pasien komplotan dukun itu. Selebihnya, para saksi mata yang keluarga dan kerabat Wowon. 

Jika dihitung dari nilai uang yang diblokir polisi, kecil kemungkinan bahwa Rp 1 miliar itu cuma berasal dari dua pasien yang dibunuh. Sangat mungkin masih ada korban lain. Apalagi, penyidikan aliran uang masuk ke tersangka belum selesai.

Polisi kini mengurai berbagai hal tentang serial killer itu. Ada banyak pertanyaan yang belum diungkap polisi. Misalnya, jika para tersangka membunuh semua saksi mata, mengapa sampai bayi 2 tahun (Bayu) yang anak tersangka Wowon juga dibunuh? Bukankah bayi belum mengerti perbuatan mereka?

Juga, siapa inisiator tiga serangkai serial killer itu? Apakah Wowon atau Solihin? Lantas, bagaimana yang bukan inisiator bisa ikut bergabung, padahal skenario kejahatan mereka jelas dan sadis.

Katherine Ramsland dalam bukunyi yang bertajuk Inside the Minds of Serial Killers (Praeger Publishers, 2006) menyebutkan, serial killer yang dilakukan lebih dari satu pembunuh (sebagai tim) pasti ada yang dominan dan ada pengikut.

Ramsland mengutip film Amerika Serikat (AS) bertajuk Natural Born Killers produksi 1994, disutradarai Oliver Stone. Itu film fiktif yang menampilkan tim pembunuh berantai dilakukan pasangan suami istri. Inisiatornya adalah suami, sedangkan sang istri pengikut.

Di situ serial killer team tersebut menikmati kekerasan acak untuk melampiaskan kemarahan dan melatih kekuatan dengan cara membunuh banyak orang.

Film menunjukkan bagaimana pasangan mengembangkan dorongan membunuh bersama, memadukan impuls mereka dalam serentetan kekerasan. 

Begitu pula tim pembunuh berantai lainnya, pasti ada inisiator dan ada pengikut. 

Pertanyaannya, apakah pengikut berani membunuh jika tidak bersama tokoh inisiator? Atau, mengapa pengikut tidak takut, padahal ia cuma ikut-ikutan dan kejahatan mereka membunuh banyak orang adalah kejahatan sangat serius?

Jawaban di buku itu, pengikut di tim pembunuh berantai larut terbawa oleh semangat inisiator. Dan, para pengikut merasa bahwa jika suatu saat mereka ditangkap polisi, mereka tidak merasa sendirian. Para pengikut berpikir, kalau suatu saat mereka ditangkap polisi, tanggung jawab terberat ada di inisiator.

Kenyataannya, para pengikut tetap dituntut sebagai pembunuh berantai. Meski, kebencian masyarakat tertuju kepada inisiator.

Di serial killer Bekasi, pembagian peran tiga orang itu sudah diungkap polisi, seperti diurai di atas. Tapi, mereka bertiga sama, dikenai Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati. Juncto Pasal 338 KUHP, pembunuhan biasa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: