Series Jejak Naga Utara Jawa (14): Bukti Akulturasi yang Menawan

Series Jejak Naga Utara Jawa (14): Bukti Akulturasi yang Menawan

Wajah Gereja Santa Maria de Fatima yang bernuansa Tionghoa.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Kristenisasi yang digencarkan Belanda terhadap warga Tionghoa ditandai dengan pembangunan gereja-gereja di kawasan pecinan. Di Glodok, Jakarta Barat, ada Gereja Santa Maria de Fatima. Tak hanya menyimpan sejarah, gereja itu juga jadi bukti akulturasi kebudayaan yang menawan. 

 

GEREJA Santa Maria de Fatima adalah definisi sebenar-benarnya sebuah hidden gem. Kalau hanya mengikuti peta digital di smartphone, dipastikan tidak ketemu. Meskipun tim Jejak Naga Utara Jawa sudah menyusuri jalan yang benar, yakni Jalan Kemenangan yang sempit dan semrawut itu, sosok gereja tak juga terlihat. 

 

Hingga akhirnya kami menemukan bahwa gereja itu berada satu kompleks dengan Sekolah Ricci. Halamannya ditutup pagar tinggi. Sehingga bangunan gereja tak terlihat dari luar. Sudah begitu, ada tulisan, Selain Siswa Dilarang Masuk.

 

Minggu sore, 15 Januari 2023, tepat pukul 16.00 WIB, kami minta izin untuk berkunjung ke gereja. ’’Silakan. Misa Mandarin-nya sudah mau mulai,’’ ucap seorang penjaga.  

 

Ya, dua pekan sekali, Gereja Santa Maria de Fatima menggeber misa berbahasa Mandarin. Demi mempertahankan fungsinya sejak didirikan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Yakni untuk mengakomodasi kebutuhan ibadah kalangan huaqiao (Tionghoa perantau), yang mendiami kawasan Glodok.

 

BACA JUGA: Sejoli Jerman Terpikat Patung Buddha Empat Muka

 

Menurut sejarah, gereja itu didirikan setelah Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ mendapatkan tugas pelayanan dan pewartaan dari Vikaris Apostolik Jakarta. Perintahnya adalah mendirikan gereja beserta segala elemen pendukungnya. Antara lain, sekolah dan asrama. Sekolah itulah yang kini kita kenal sebagai Sekolah Ricci. 

 

’’Jadi, berdirinya barengan,’’ kata Ng Andre, aktivis pecinan Glodok yang menemani kami berkeliling Jalan Kemenangan hari itu. ’’Dulu disebutnya gereja Toasebio. Karena berdekatan dengan Kelenteng Toasebio,’’ jelasnya. Hingga kini, paroki—sistem kewilayahan dalam gereja Katolik—yang ditempati gereja itu pun disebut dengan Paroki Toasebio. Meski nama resminya adalah Paroki Santa Maria de Fatima.

 

Pada 1953, gereja membeli tanah dari seorang Kapitan Tionghoa. Andre hanya menyebut marganya: Tjioe. Di tanah itu, sudah ada bangunan rumah tinggal sang kapitan. Sangat tua, sangat oriental. Dibangun pada 1850, pada masa kolonial. ’’Meski bangunannya dijadikan gereja, eksterior maupun interiornya sebagian besar dibiarkan sebagaimana adanya,’’ kata Andre. 

 

Di Jakarta, sebenarnya ada beberapa gereja yang menggelar misa dalam bahasa Mandarin. Namun, Santa Maria de Fatima-lah yang paling unik. Sebab, bangunannya masih bergaya Tionghoa. Didominasi warna merah dan emas, dengan ornamen-ornamen khas Negeri Panda. Benar-benar menyatukan budaya Katolik dengan budaya Tionghoa. 

 

’’Tapi ciri khas Tionghoanya pun sudah mengalami asimilasi. Ornamennya banyak yang khas Tionghoa Peranakan,’’ jelasnya. 

 

Gereja itu terdiri dari satu bangunan utama dan dua bangunan kecil di kanan kirinya. Bubungan atapnya melengkung seperti pelana. Dengan masing-masing ujungnya berbentuk ekor walet. Bercabang dua. Di puncak atap, tepat di tengah, terdapat salib besi. Di sisi kanan gereja didirikan menara lonceng. Sedangkan di sisi kiri ada bukit Maria de Fatima. 

 

Layaknya kelenteng atau rumah-rumah bangsawan Tionghoa, di depan bangunan utama dijaga sepasang kilin. Singa gaib dalam mitologi Tiongkok. Simbol kemegahan sekaligus penangkal hal-hal buruk. Bingkai-bingkai pintu yang bercat merah dihias ukiran bunga peony. Sebagai lambang cinta dan kehormatan. 

 

Saat misa, pintu utama dibuka lebar. Namun, di depannya dipasangi partisi berwarna merah dan kuning. Salah satu fungsinya adalah menghalangi cahaya. Agar tidak terlalu panas. Sebab, gereja itu menghadap ke barat. Saat misa sore, sinar matahari bisa langsung menelusup lewat pintu utama. Bisa langsung sampai ke altar. Silau.

 

Selain itu, partisi tersebut juga menjadi elemen dekoratif yang mempercantik bangunan. Ia memiliki pola geometris, naga, hewan, dan aneka bunga. Pola-pola yang dipercaya menarik keberuntungan dan keseimbangan. 

 


Petugas paroki membersihkan altar setelah misa berbahasa mandarin, Minggu, 15 Januari 2023.-Yulian Ibra-Harian Disway-

 

Secara konstruktif, penyangga atap, konsol yang berwarna merah dan emas, hingga rangka atap dari besi tempa, masih khas Tionghoa. Biasanya, gereja memiliki langit-langit tinggi untuk melambangkan kebesaran Tuhan. Di Santa Maria de Fatima, plafonnya terbilang rendah. Karena aslinya memang rumah biasa. 

 

Masuk ke dalam gereja, kita disambut dengan tata letak gereja Katolik pada umumnya. Organisasi ruang di gereja ini memang disesuaikan dengan kebutuhan ibadah. Budaya Katolik dan Tionghoa punya kesamaan soal pembagian ruang. Yakni lewat penggunaan material, warna cat ruangan, serta leveling pada lantai. Jadi, tidak banyak yang diubah. 

 

Pada area doa, dinding ditutup keramik dengan ilustrasi alam. Ruang altar ditopang oleh empat pilar kayu berwarna merah. Khas bangunan bergaya Fukien (Tiongkok selatan). Di atasnya, terdapat ukiran kayu yang menggambarkan peristiwa penyaliban Yesus. Sedangkan mimbarnya berhias ukiran Tionghoa. Dengan motif awan, bunga krisan, dan naga. 

 

Di Santa Maria de Fatima, pintunya berjumlah ganjil. Karena angka ganjil dianggap membawa keberuntungan. Sedangkan jendelanya ada dua macam. Pertama, jendela permanen khas Tionghoa, yang bercat merah-kuning serta bermotif geometris. Dan satunya lagi adalah jendela terali bersimbol liturgi. 

 

Masih banyak ornamen Tionghoa lain yang bisa kita temukan di dalam gereja. Mulai meja lilin (yang aslinya meja sembahyangan), kursi imam bergaya dinasti Ming, meja altar berdesain Tionghoa Peranakan, hingga tabernakel (tempat menyimpan roti kudus) yang dulunya adalah lemari perhiasan pemilik rumah.

 

’’Semua elemen Tionghoa diadaptasi dan dipergunakan sesuai fungsi di dalam gereja,’’ jelas Ng Andre. Itu sah-sah saja. Karena Katolik sangatlah toleran, dan mau merangkul budaya apa saja. Toh, keyakinan enggak akan luntur hanya karena patung kilin atau ukiran di mimbar Romo, kan? (*)  

 

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada.

 

SERI BERIKUTNYA: Misa Hening dengan Segelintir Umat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: