Series Jejak Naga Utara Jawa (23) : Ajarkan Perbedaan Lewat Gaya Arsitektur

Series Jejak Naga Utara Jawa (23) : Ajarkan Perbedaan Lewat Gaya Arsitektur

Freddy H. Istanto menunjukkan diagram silsilah keluarga Han di Rumah Abu Han, Jalan Slompretan, Surabaya.-Boy Slamet-Harian Disway-

Rumah abu keluarga Han tidak hanya menunjukkan kekayaan Han Bwee Koo, pengusaha sekaligus kapitan Tionghoa tersebut. Tapi juga simbol akulturasi budaya yang bernilai seni tinggi.
 
SEBAGAIMANA tercantum dalam prasasti penetapan cagar budaya yang terletak di dinding depan rumah abu keluarga Han. Bahwa rumah yang berlokasi di jalan Karet nomor 72 itu memadukan tiga langgam arsitektur. Yakni Melayu/Jawa, Eropa, dan Tionghoa.
 
Founder Surabaya Heritage Society Freddy H. Istanto mengatakan, sejak dulu, Keluarga Han memang menanamkan pentingnya menghargai perbedaan lewat arsitektur.
 
’’Arsitektur adalah cerminan budaya. Nah, karena Han Bwee Koo ini orang Tionghoa, ia membangun rumah dengan prinsip-prinsip Tionghoa,’’ jelas Freddy, ketika menemani tim Jejak Naga Utara Jawa berkunjung ke rumah itu, Rabu, 25 Januari 2023 lalu.
 
’'Namun, karena waktu itu Surabaya sedang dikuasai oleh Belanda, ia juga menyerap langgam arsitektur Eropa. Dan karena ia lahir dan besar di Jawa, ia masukkan pula sentuhan gaya Jawa,’’ papar dosen luar biasa di jurusan Arsitektur Interior Universitas Ciputra Surabaya tersebut.
 
 
Gaya Eropa sudah dapat dilihat dari tiang polos di teras rumah. Itu gaya Yunani klasik. Sedangkan di dalam, ada pilar-pilar besi yang diimpor dari Glasgow, Skotlandia. Gayanya kolonial banget. Ada aksen, tapi hanya separo ke bawah. Berbeda dengan gaya oriental yang penuh ukiran bermotif flora dan fauna.
 
Sentuhan Eropa juga dapat kita temukan pada ornamen langit-langit di ruang altar. Plafon ruang sembahyang itu tampak sangat cantik berkat panel-panel yang membentuk bunga berwarna kuning kombinasi cokelat.
 
Sementara itu, elemen arsitektur Jawa terdapat pada langit-langit courtyard kedua. Rumbai atap di antara pilar-pilarnya memanjang ke bawah, dengan ujung runcing dan lubang di tengahnya. Itu khas pendapa Jawa. Sedangkan lantai ruangan belakang mirip dengan lantai di keraton-keraton Jogja.
 
Selebihnya, mulai pintu, jendela, ornamen-ornamen, hingga keseluruhan ruang altar, bergaya Tionghoa.
 
Melipir ke sayap kanan bangunan, terdapat ruang sembahyang lagi. Namun, ukurannya jauh lebih kecil. Altarnya jauh lebih sederhana. Lantainya pun tegel biasa, bukan marmer. Rupanya, itu ruang sembahyang untuk perempuan. Zaman dahulu, memang diskriminasi gender masih kuat. Apalagi dalam kultur Tionghoa.
 
Keelokan areal altar di dalam Rumah Abu Han, Jalan Slompretan, Surabaya.-Boy Slamet-Harian Disway-
 
Freddy lantas mengajak kami ke ruangan lain. Yang berdekatan dengan tempat yang sekarang dijadikan dapur oleh pengurus rumah. Ruangan itu sempit. Lebarnya hanya dua meter. Namun, ia menyimpan kekayaan yang begitu berharga. Yakni, silsilah keluarga serta foto-foto lawas. Yang menggambarkan kejayaan dinasti Han pada masa itu. 
 
Di tengah-tengah silsilah—yang ditulis di atas kertas samak yang dibingkai—terdapat lingkaran berbentuk matahari. Bertulisan ’’Han Siong Kong di Lasem 1675’’. Itu menunjukkan pendaratan keluarga Han generasi pertama di Lasem pada tahun tersebut. Setelah itu, anak cucunya ditulis mengelilingi nama Han Siong Kong. Untungnya, semua dalam aksara latin. Meski ejaan lama.
 
Sayangnya, anak-cucu-cicit keluarga Han sudah tercerai berai. Jumlahnya mungkin sudah ribuan, tapi tak saling kenal. Banyak yang tinggal di luar kota, bahkan luar negeri. Sudah menjalani hidup sendiri-sendiri, enggan direpoti dengan warisan keluarga. Rumah abu itu pun tak ada yang mengurus.
 
’’Saya menyebut rumah ini sebagai mutiara terpendam di Surabaya. Dalam skala sangat besar, rumah ini sangat ’wah’. Karya seni tinggi,’’ kata Freddy. ’’Sayang kalau enggak dirawat,’’ imbuhnya.
 
Rumah abu keluarga Han sudah ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2015. Namun, Freddy berharap Pemkot Surabaya segera mewujudkan rencana mengubahnya menjadi museum. Agar lebih banyak lagi yang memperhatikan. Dan lebih banyak lagi yang mempedulikan kelestariannya. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: