Series Jejak Naga Utara Jawa (24) : Dulu untuk Perlawanan, Kini Olahraga
Peserta latihan Kunthauw Hokkian di Kelenteng Boen Bio, Surabaya.-Erni Prasetyo-Harian Disway-
Itu tidak terlepas dari posisi Kapasan yang terletak cukup jauh dari episentrum enclave Chinesche Kamp (pecinan) yang dibentuk VOC. Kapasan terletak di sebelah barat Handelstraat (kini Jalan Kembang Jepun). Untuk melewatinya, orang harus menyeberangi Sungai Pegirikan yang dulu cukup lebar.
Berdasar peta Surabaya berangka tahun 1866, wilayah yang sekarang disebut sebagai Jalan Kapasan terletak di sisi selatan Kampung Srengganan, Kampung Sawah, dan Kampung Tjantian. Wilayahnya tampak kosong. Berbeda dengan sisi timur Kembang Jepun yang sudah terlihat padat dengan nama-nama jalan yang paten.
Dan di kapasan itulah legenda tersebut bermula. Tentang orang-orang dengan olah kanuragan mumpuni. Yang terus menerus mengganggu Belanda dengan kemampuan bela diri yang cukup merepotkan. Ya, merekalah Buaya Kapasan, para jagoan yang melawan penjajah berbekal ilmu kungfu.
’’Mungkin, guru saya adalah salah satu Buaya Kapasan itu,’’ kata Tiang Hien.
Lelaki 64 tahun itu dijumpai tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway pada malam gerimis, Jumat, 3 Februari 2023. Ia sedang berlatih kungfu, yang mereka sebut sebagai aliran Kunthauw Hokkien, di Kelenteng Boen Bio, Jalan Kapasan, Surabaya.
Tak banyak yang berlatih malam itu. ’’Mungkin karena hujan,’’ ucap Tiang Hien. Bersamanya ada Se Luk, Raymond Tanuwidjaya, dan Arya Dwijaka Hariyanto. Dengan tekun, mereka menempa diri di aula besar Kelenteng Boen Bio. Berbagi ruangan dengan tim barongsai yang terus menerus membunyikan musik khas mereka.
Empat orang itu berpasangan. Kaki dibuka sekira selebar bahu dengan lutut agak menekuk. Membentuk posisi yang mirip kuda-kuda ma bu pada olahraga wushu.
Masih berhadapan, mereka saling memukul. Mengayunkan tangan yang telapaknya terbuka dengan jemari rapat. Seperti membacok. Yang dipukul harus menangkis. Begitu terus. Seperti adu keras tulang.
Gerak itu diulang-ulang terus hingga peluh membuat kaus yang mereka pakai seperti lengket karena keringat.
Penasaran, Harian Disway pun mencoba melatih gerak-gerak dasar. Tentu, yang pertama harus dikuasai adalah kuda-kuda. Tiang Hien yang membimbing saya.
Dalam latihan gerak sam cien itu, tangan ini saya ayunkan ke arah Tiang. Tak dinyana, ia hanya membuat gerakan sederhana. Tangan kirinya terangkat, menjemput ayunan tangan kanan saya. Dan, benturan tangan itu sudah membuat saya nyengir. Sakit.
Dan bayangkan saja saat Tiang melakukan gerakan serupa. Ia memukul, saya menangkis. Rasanya seperti membentur kayu…
Tangan yang keras itu tentu tidak muncul dalam semalam. Tiang Hien rutin berlatih kunthauw saban Senin dan Jumat.
Bagi mereka, latihan itu juga salah satu bentuk menjaga warisan budaya nenek moyang. Terlebih, kungfu tak lagi banyak peminatnya. Selain kalah oleh olahraga beladiri yang lebih modern, represi Orde Baru membuatnya surut. Kungfu hanya diajarkan secara sembunyi-sembunyi di dalam kelenteng.
AULA UTAMA Kelenteng Boen Bio Surabaya yang dijadikan tempat berlatih Khuntauw Hokkian.-Erni Prasetyo-Harian Disway-
Menurut Tiang Hien, gurunya bernama The Kang Hay. Nah, The Kang Hay ini adalah murid langsung Kwee King Yang yang memulai pengajaran khuntauw di Surabaya. Ketika itu, latihannya di kawasan Klimbungan. Kisah ini pernah ditulis oleh Harian Disway pada Desember 2021.
Kini, yang dilakukan Tiang Hien dan kawan-kawannya adalah merawat tradisi itu. Agar keseniannya tidak lenyap. Juga kisah-kisah yang menyertainya. ’’Legenda harus dibangkitkan,’’ ucap Thiang.
Yang jadi PR besar Tiang Hien adalah mengajak generasi muda untuk mau berlatih kungfu lagi. Sebab, dalam sejarah Kelenteng Boen Bio, kungfu juga menjadi simbol persatuan. Pada dekade 1970-an, yang berlatih bukan warga Tionghoa saja. Segala suku mau belajar. Baik lelaki atau perempuan. ’’Ini bukti keharmonisan warga Kapasan sejak dulu,’’ katanya.
Ya, pecinan dan segala geliatnya memang mewariskan banyak tradisi. Kawasannya melahirkan tata kemasyarakatan yang khas. Demikian pula segregasi ekonominya. Orang-orang berpunya—kalangan aristokrat—tinggal di mansion gede yang jejak kemegahannya masih bisa disaksikan hingga kini. Warga ’’biasa’’ meninggalkan jejak komunalitas yang cita rasanya pun masih lestari hingga kini… (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: