Series Jejak Naga Utara Jawa (57) : Perkawinan Budaya dalam Lezatnya Boga
TAHU GEJROT khas Cirebon ini adalah makanan tradisional yang merupakan akulturasi budaya Nusantara dan Tionghoa. Kisahnya kami ceritakan di seri-seri berikutnya.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Setidaknya ada dua makanan yang disarankan Andre, aktivis kebudayaan yang memandegani Serangkai Tionghoa tersebut. Yakni, rujak juhi dan nasi ulam.
Kami pun menelusuri lorong-lorong Glodok yang sudah mulai gelap itu. Di beberapa tempat, lampion khas Imlek terlihat menyala. Begitu juga pada lapak-lapak pedagang yang berjajar di sepanjang kawasan Pancoran Glodok itu. Terlihat terang.
Tapi, kami—yang memang lapar dan lelah setelah seharian berjalan kaki itu—tampaknya sedang apes. Tak ada lagi penjual rujak juhi dan nasi ulam. Sudah tutup. ’’Biasanya di sini, nih,’’ ucap Andre di tepi jembatan di ujung Jalan Toko Tiga Sebrang.
Hingga berpisah dengan Andre, nasi ulam dan rujak juhi itu tidak pernah kami temukan. Kami baru mendapatkan nasi ulam itu selepas pukul 21.00, saat tiba di apartemen tempat kami menginap. Ya, kami memang begitu penasaran dengan nasi ulam itu. Juga begitu lapar.
Nasi ulam sejatinya adalah nasi campur. Yakni, nasi dengan beberapa paduan sayur dan kuah. Mulai kuah semur, daging sapi atau daging ayam, bihun, daun kemangi, tempe atau telur, dan serundeng. Tentu, paduan ini bisa sangat beragam. Bukan pakem yang harus dituruti 100 persen.
NASI ULAM yang dinikmati tim Jejak Naga Utara Jawa di Jakarta, Minggu, 15 Januari 2023.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Bukan cuma lauk dan bahannya yang campur, unsur budaya yang membentuknya pun campur. Situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id mengatakan bahwa nasi ulam adalah akulturasi tiga budaya. Yakni, Indonesia, Belanda/Eropa, dan Tionghoa.
Bahan-bahan nasi ulam tentu dari Indonesia. Termasuk sambal, kerupuk, hingga serundengnya. Unsur budaya Eropa tampak dari daging rebus dan semur yang melengkapi nasi ulam. Sedangkan unsur budaya Tionghoa hadir melalui bihun atau taburan kacang tanahnya.
Ya, soal makanan, Indonesia memang begitu kaya. Bukan hanya makanan aslinya. Tetapi, hadir pula bentuk-bentuk makanan akulturasi karena interaksi berbagai bangsa yang terjadi di Nusantara sejak berabad-abad lampau.
Inilah yang kami cari melalui ekspedisi panjang tersebut. Sekali lagi, bukan Chinese food yang restorannya begitu banyak. Bukan cap cai, koloke, fuyunghai, atau mi yang mudah didapatkan. Tetapi, makanan-makanan yang bisa jadi tidak kita sadari merupakan bentuk perpaduan budaya.
Denys Lombard, dalam bukunya, Nusa Jawa-Silang Budaya; Jaringan Asia (1990) mengakui pengaruh warga Tionghoa dalam berbagai khazanah boga Nusantara. Berbagai bahan dan teknik memasak dari Tiongkok melengkapi sajian khas Nusantara yang kebanyakan berbahan santan, ketan, dan gula merah. Lombard menulis, bahkan istilah tiga teknik utama memasak pun berasal dari bahasa Tionghoa. Yakni, tim (kukus), ca (tumis), dan kuah.
Peranti memasak pun banyak yang berasal dari budaya Tionghoa. Mulai berbagai jenis pisau, sendok masak, wajan, atau panci. Ini melengkapi peranti asli Nusantara yang berbahan gerabah. Misalnya, cobek dan ulekan.
LONTONG CAP GO MEH adalah salah satu bentuk makanan dengan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa.-Boy Slamet-Harian Disway-
Para perantau Tiongkok juga mengenalkan beberapa jenis bahan makanan. Misalnya kedelai yang kemudian mewujud menjadi berbagai bahan. Misalnya, tahu, tempe, tauco, hingga kecap.
Kata Lombard, berbagai teknik pengawetan makanan berasal dari Fujian. Misalnya dengan mencelup buah dan sayur ke dalam gula atau garam. Ini klop juga dengan budaya pengawetan makanan yang sebelumnya sudah ada di Jawa. Juga dengan gula, garam, atau ragi.
Masuknya budaya kuliner Tiongkok itu pada awalnya memang sebuah upaya bertahan hidup. Agar lidah para perantau itu terpuaskan rasa rindunya pada kampung halaman. Tetapi, lama kelamaan, budaya baru itu bisa diterima oleh masyarakat Nusantara. Begitu juga sebaliknya, para perantau itu makin lama makin terbiasa dengan makanan Nusantara.
Saling memberi dan menerima inilah yang akhirnya kian memperkaya koleksi boga Nusantara. Dan semangat inilah yang ikut mendorong tim ekspedisi ini mengelilingi pantai utara Jawa. Semangat makan… (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: