Mengemas Perbedaan Menjadi Keharmonisan
Sertu Yazid Arafat Babinsa Desa Leran menyapa anak-anak yang bersepeda di Kampung Pancasila, Bojonegoro, Jawa Timur, Selasa (16/5/2023)-Sahirol Layeli-
”Dulu pertama saya masuk sini, minim interaksi antara umat Islam dan Hindu. Kemudian, kita perbaiki pelan-pelan. Kedua pihak mulai sering ketemu. Kalau ada acara tahlilan, temen-temen Hindu hadir. Pun demikian kalau acara Nyepi, temen-temen muslim juga diundang,” tutur Ridlo’i menceritakan Desa Ledokombo pada era 2011-an.
Namun, lambat laun, melalui berbagai komunikasi yang telaten, Ridlo’i mulai mengusulkan agar pada setiap acara keagamaan, tokoh agama dari kedua pihak harus duduk di depan. Sampai akhirnya ada tiga salam yang biasa mereka ucapkan di acara kemasyarakatan. Baik acara resmi maupun tak resmi. Yaitu, salam ”Hong Ulun Basuki Langgeng” yang kemudian diikuti ”Om Swastiastu” bagi yang beragama Hindu dan ”Assalamualaikum” bagi yang Islam.
Serupa karena tipe masyarakat yang tak jauh berbeda juga dilakukan di Desan Senduro, Kecamatan Senduro, Lumajang. Tempat Serka Pribawono mengabdikan diri sebagai bintara pembina desa.
Di sana, Pura Mandara Giri Semeru Agung –selain menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, tertua di Indonesia– menjulang tinggi dengan tiga mandala utama mendampingi puncak Semeru yang mengepulkan asap di kejauhan.
Pura yang dibangun di atas tanah seluas 2 hektare itu mulai semarak pada pagi tanggal 17 Mei 2023. Ada anak-anak sekolah, warga yang ke pasar maupun ke ladang, juga umat Hindu yang sedang kerja bakti membersihkan pura bakal menjelang upacara Odalan memperingati ulang tahun pura pada Juli nanti.
Perwakilan dari beberapa agama, dari kiri Ach Bisri Ketua KUA kecematan Senduro, Jandri Ginting Pendeta GPdl Sola Gracia Senduro, Serka Pribawono babinsa Desa Senduro, Teguh Widodo ketua Majelis Agama Hindu.-Syahrul Rozak Yahya-
”Pura ini memang berdiri di kawasan yang mayoritas muslim,” kata Mangku Pura Ngatemin yang pagi itu juga tengah terlibat dalam kegiatan pembersihan pura.
Toleransi tersebut bukan tanpa cobaan. Ada saja yang mau mengganggu. Tahun 2017, sebuah patung di depan pura dirusak orang tak dikenal. Kecurigaan dan kasak-kusuk menyebar di Senduro. Yang resah tentu umat Islam yang seakan-akan merasa tertuduh.
Melihat kondisi yang makin tak tentu arah, Danramil Senduro Ony Ariyanto segera memanggil Serka Pribawono untuk segera turun ke masyarakat dan meredam gejolak sebelum meletus jadi konflik horizontal.
Dari pembicaraan dengan tokoh-tokoh Islam, disepakati akan dicari siapa yang telah tega mengaduk-aduk air bening di Senduro. Namun, ternyata, umat Hindu justru tak mempermasalahkan insiden tersebut. ”Mending patungnya diperbaiki saja. Mentok habis Rp 1 juta daripada dikejar, masalah jadi panjang, habis berjuta-juta,” terang pengurus pura Wira Darma. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: