Kisah Magang di Harian Disway: Mental Sempat Terguncang di Awal

Kisah Magang di Harian Disway: Mental Sempat Terguncang di Awal

Kegiatan menulis ketika Magang di Harian Disway-Dave Yehosua TB-

Menulis. Salah satu kegiatan yang saya tekuni sejak SMP. Mulai cerpen hingga opini, sudah pernah saya tulis. Semuanya tanpa pembimbing, alias otodidak. Atau kalau istilah game-nya solo push rank. Saat itu, saya merasa sudah jago. 

Hingga pada awal 2023, Harian Disway mengubah sudut pandang saya. Kisah itu bermula dari poster di Instagram Komuntag tentang magang MBKM di Harian Disway. Medianya salah satu tokoh jurnalistik yang paling disegani: Abah Dahlan Iskan. Melihat peluang itu, saya mencoba untuk mendaftarkan diri. Rupanya diterima. Magang pertama digelar 27 Februari 2023. Kami dapat kesempatan hingga tiga bulan. 

Disway News House terletak di tengah kota. Depan Balai Kota Surabaya. Lokasinya sangat strategis. Gedungnya bernuansa putih dan klasik. Begitu masuk, yang terasa justru kesan penuh warna. Warna-warninya bukan hanya terlihat dari banyaknya lukisan di sana, tetapi juga dari mentor yang memiliki berbagai spesialisasi, kisah dan background.   

Saya masuk ke  divisi content writer. Dengan pengalaman menulis sejak SMP, saya dengan percaya diri menyetorkan tulisan pertama. Awalnya, saya yakin 100 persen dapat pujian. Ternyata tidak. Tulisan saya dicap amburadul.


Hasil karya tulisan selama magang di Harian Disway.-Dave Yehosua TB-

Tulisan yang saya bikin dirombak habis-habisan. Ada catatan di sana-sini. Istilahnya bukan lagi direvisi. Tapi harus bikin tulisan baru. Mulai dari awal. Rasanya seperti menjadi peserta MasterChef Indonesia yang teralu PD, tetapi masakannya dilepeh Cheff Juna. Sakitnya tuh, di sini. Sudah kayak lagu dangdut yang pernah hits 2014.

Jujur, saat itu harga diri dan mental saya agak terguncang. Rupanya standar tulisan Harian Disway begitu tinggi. Menulis ternyata tidak hanya soal 5W1H. Ada banyak proses kreatif yang dilibatkan. Kompleks.

Tulisan yang baik  bisa membuat pembacanya tenggelam. Yang tentu, dibaca sampai habis. Kalau judulnya tidak menarik, paragraf pertama pasti tidak akan dibaca. Kalau paragraf pertama atau lead tidak menarik, pasti tulisan berikutnya kena skip. Dan tulisan kami harus punya kalimat penutup yang jadi punchline pamungkas.

Kami ditempa selama tiga bulan untuk mencintai karya kami buat. Mungkin ini terdengar klise, tetapi tetap saya tulis: Jurnalis yang punya karya hebat pasti care dengan tulisannya. 

Tulisan yang kami bikin juga harus dibaca lagi berkali-kali. Jangan sampai ada salah ketik. Itulah salah satu bentuk kepedulian pada karya kami. Menulis juga harus denga passion. Bukan karena rutinitas atau kewajiban semata.

Perlahan guncangan mental mulai hilang. Saya menyadari kritikan itu perlu. Biar kami yang masih magang ini tidak lembek. Justru dari kritikan itu, ilmu yang didapat sangat terngiang-ngiang di kepala. Secara otomatis, kesalahan lebih terminimalisir.

Teman sesama magang, Maulidah membandingkan tulisan pertamanya dengan harsil karya yang dibikin di hari-hari terakhir magang. Ia terharu, ternyata kemampuan menulisnya berkembang pesat. 

Saya pun begitu. Kalau membaca tulisan saya di hari-hari awal, saya senyum-senyum sendiri. Tidak salah kalau tulisan itu dirombak habis-habisan.  Rupanya, perkembangan kami begitu pesat selama tiga bulan terakhir.

Semua itu tak bisa dilepaskan dari  bimbingan Suhu: Doan Widiandono S. Sos, M. I. Kom. Dosen sekaligus jurnalis andalan Abah Dahlan Iskan yang membimbing perjalanan magang kami. Pak Doan memegang pos halaman utama khususnya berita internasional. Saya banyak belajar dari beliau. Setiap hari, dengan tempaan dan didikannya, saya diarahkan mencitai karya tulis yang saya buat. Terutama soal jurnalisme sastrawi yang akan terus kami perdalam.

Harian Disway juga menjadi tempat pertemuan saya dengan sosok jurnalis perempuan dengan aura kegembiraan. Namanya, Retna Christa. Akrab dengan panggilan Mbak Nana. Sama seperti orangnya, karya tulisan dari Mbak Nana bisa membawa nuansa kegembiraan bagi pembaca. Terutama di rubrik lifestyle.

Tulisan Mbak Nana seperti "berbicara". Tidak kaku. Keahliannya dalam mengupas berita dengan gaya casual, membuat saya terinspirasi.

Selain Mbak Nana saya juga bertemu dengan redaktur muda, Salman Muhiddin. Pria yang kami Panggil Mas Sal itu sangat akrab dengan kami, anak-anak magang. Seperti tidak ada jarak. Beberapa kali kami mendapat bimbingan privat dan diminta duduk di sampingnya. Tulisan dibedah agar kami tahu salahnya di mana.

Belaiau sangat peka dan jujur dalam mengkritik tulisan kami. Namun, ia tetap menjadi pribadi yang hangat dan lucu. Sehingga kritikan pedasnya tidak membuat kami down.

Pernah suatu kali kami anak-anak MBKM diutus untuk menjadi juri dari Surabaya Tourism Awards. Setelah penjurian,  ada tugas untuk menulis kegiatan hari itu. Saat itu, beliau sedang mengoreksi tulisan kami. 


Kegiatan saya selain menulis ketika magang di Harian Disway.-Dave Yehosua TB-

Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Mas Sal tertawa dan memanggil kami semua: peserta program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Ternyata ada kesalahan tulis yang mengocok perut. Bebek goreng ditulis Bebek Boreng. Sontak kami tertawa.

Suasana redaksi yang profesional itu begitu hangat. Suasana inilah yang membuat kami betah. Kritikan membangun yang sempat membuat mental saya down, seperti sembuh secara ajaib.

Ya, itu lah kegiatan kami selain menulis artikel: bercengkrama di halaman belakang Disway News House. Ruang terbuka itu jadi tempat kami berdiskusi dan bertukar kisah. 

Kami juga dilibatkan dalam event besar: Surabaya Tourism Awards 2023. Jadi, pengalaman magang kami tak melulu soal menulis. Kegiatan-kegiatan di luar kantor itu cukup untuk mengusir kepenatan kami.

Hari-hari di depan laptop berganti dengan jalan-jalan keliling Surabaya. Mencicip kuliner di berbagai Sentra Wisata Kuliner (SWK) yang dikembangkan Pemkot Surabaya. Lumayan, makan gratis sambil menjuri. hehehe.

Magang di Harian Disway juga sangat fleksibel. Tantangan menulis di halaman internasional rupanya terlalu berat bagi saya. Jadi, saya meminta Pak Doan untuk menulis esports dan game. Sesuai passion. Rupanya tidak masalah. Hore!

Saya diarahkan untuk masuk ke pos olahraga yang menaungi esports dan game tersebut. Kebetulan pos game tersebut sedang lowong. Akhirnya saya kembali dipertemukan dengan orang hebat lainnya di Harian Disway: Gunawan Sutanto. Jurnalis yang pakar IT.

Tak terasa, banyak sekali pelajaran berharga yang saya dapatkan. Memang, didikan para redaktur sangat keras. Namun, saya merasa perkembangan kemampuan menulis saya dan teman-teman begitu pesat. Ternyata untuk menjadi profesional, harus dibimbing langsung oleh pakarnya. Tidak bisa solo push rank, gaess!. (Dave Yehosua TB)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: