Merawat dan Meruwat Kesehatan Mental

Merawat dan Meruwat Kesehatan Mental

FAKULTAS Vokasi Universitas Airlangga menyelenggarakan kegiatan yang dapat menciptakan kebersamaan dan kekompakan di antara para akademisi.-Humas Unair-

SEJAK pandemi Covid-19 melanda dunia, masyarakat menjadi lebih peduli dengan topik pembahasan yang menyangkut tentang kesehatan mental (mental health). Sebab, pada masa pandemi, aktivitas sosial dibatasi sehingga masyarakat seolah-olah merasa terkurung dan terisolasi dari kehidupan sosial yang biasa dilakukan. 

Kondisi tersebut menurut Gao dkk (2020) rentan dapat menimbulkan dampak jangka panjang pada kesehatan mental masyarakat. Beruntung, setelah tiga tahun masyarakat berjuang menghadapi pandemi yang membatasi ruang gerak untuk bersosialisasi, pandemi pun berakhir. 

Dunia kini sedang berada pada fase endemi. Kendati telah ”keluar” dari ancaman gangguan kesehatan mental setelah melewati badai pandemi, masyarakat kini tetap ”perhatian” dengan kesehatan mental. Itu terbukti dengan adanya webinar, podcast, dan berbagai konten di media sosial yang membicarakan tentang kesehatan mental. 

Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kondisi kesehatan mental itu diperkuat dengan adanya dukungan dari World Health Organization (WHO) yang telah menetapkan empat sasaran utama dalam program Comprehensive Mental Health Action Plan 2013¬–2030. 

Empat sasaran tersebut adalah, pertama, adanya penguatan pada kepemimpinan dan tata kelola. Kedua, layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat yang komprehensif, terintegrasi dan responsif. Ketiga, implementasi promosi dan prevensi. Keempat, penguatan sistem informasi, bukti, dan penelitian. 

Empat sasaran utama itu bermuara pada upaya untuk ”merawat” kondisi kesehatan mental dan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat.

 

Problematika Kesehatan Mental

Sebagai induk organisasi kesehatan, WHO pada 2022 mengeluarkan pernyataan bahwa ada kurang lebih satu miliar orang di dunia sedang mengalami gangguan kesehatan mental dalam berbagai bentuk. Ada yang mengalami gangguan kecemasan, bipolar, depresi, dan post-traumatic stress disorder (PTSD).

Sementara itu, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dari Kementerian Kesehatan RI, di Indonesia ada 9,8 persen penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan mental dan 6,1 persen penduduk pada usia tersebut rentan mengalami depresi. 

Sekalipun jumlahnya tak lebih dari 10 persen, jumlah tersebut perlu diperhatikan betul agar tidak bertambah setiap tahun. Apalagi, sebagaimana diketahui, saat ini masyarakat sedang berjuang untuk bangkit dari ”keterpurukan” akibat pandemi Covid-19.

Sayangnya, upaya untuk menjaga kondisi kesehatan mental agar tetap sehat di Indonesia mengalami jalan yang terjal. Hambatan tersebut berasal dari masyarakat itu sendiri yang cenderung menganggap gangguan kesehatan mental merupakan sebuah aib yang tak seharusnya diperbincangkan. Sering ditemui di media sosial, terutama YouTube dan TikTok, yang memperlihatkan fenomena memilukan yang dialami oleh mereka yang mengalami masalah kesehatan mental.

Sebagian penderita masalah kesehatan mental dipasung karena dianggap mengganggu ketenteraman keluarga dan masyarakat. Ada pula yang dikurung di sebuah ruang kecil sehingga ruang gerak mereka untuk bisa berinteraksi dengan sesama pun dibatasi. 

Isu mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental memang sudah melangit dan sudah banyak dibahas pada forum akademik. Namun, pada kenyataannya, itu belum membumi dan diterapkan secara menyeluruh oleh masyarakat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: