Marwah, Kebangkitan Perupa Perempuan setelah 78 Tahun Indonesia Merdeka (4): Keteguhan, Kepercayaan, Kekuatan

Marwah, Kebangkitan Perupa Perempuan setelah 78 Tahun Indonesia Merdeka (4):  Keteguhan, Kepercayaan, Kekuatan

Ruang pameran Marwah di Pos Bloc, Jakarta. Di sinilah 78 perempuan perupa peserta berpameran untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-78. -Revoluta S-

HARIAN DISWAY - Pameran Marwah mengantarkan pesan dan mengartikulasikan pandangan perupa dalam merespons apa yang telah, sedang, dan akan terjadi. Dalam tatanan temporer maupun temporalitas masyarakat. Inilah masing-masing perupa dan pesan yang dibawanya. 
 
Dirancang sebagai peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-78, karya para perupa perempuan itu didapat dari kerja berdialektika dengan konsep yang telah terkonstruksi. Mereka menyulam persepsi terkait memori kolektif dalam dinamika budaya populer. 

Cermin, Topeng
Banyak perupa menggunakan konsep kaca, cermin, dan topeng untuk merefleksikan dirinya. 
 
Dalam Glass Things: On the Language of Difference, Dipa Ena melihat dunia berdasarkan kaca yang merupakan alegori penciptaan makna dalam perspektif kita. Melihat melalui kaca adalah subjektifikasi. Kita menginterpretasi dunia berdasarkan pengalaman subjektif dan melalui kaca kita mengobjektivikasi diri.

BACA JUGA: Marwah, Kebangkitan Perupa Perempuan setelah 78 Tahun Indonesia Merdeka (1): Mengedepankan Dignity
 
Edya Asmara memandang topeng sebagai makna ”bercermin” agar diri selalu introspeksi. Karya Lampah Wening menyiratkan tentang belajar memanusiakan manusia yang kompleks.
 
Alegori topeng juga digunakan Dyan Anggraini dalam Bicara Perempuan. Ia melihat kodrat perempuan sebagai pemangku keturunan mengisyaratkan gugusan nilai-nilai tentang kasih sayang, pengorbanan, kekuatan, dan kelembutan.
 
Dalam Refleksi Jiwa, Gilang Cempaka memandang marwah sebagai cermin hati yang memantulkan keberadaan dan nilai diri, yang akan memancarkan citra yang jujur seperti halnya pantulan dalam cermin. Cermin hati adalah tempat kita berkaca, berkontemplasi dan berkomunikasi dengan diri sendiri.
 
Rumah, Istri
Beberapa perupa menggunakan rumah sebagai tempat berlindung dan benteng perempuan. DalamIdentitas, Belinda Sukapura Dewi melihat rumah sebagai personifikasi identitas perempuan. 
 
Pengejawantahan marwah ada juga yang dalam bentuk khayalan. Seperti impian Aida Prayogo untuk memiliki rumah mewah pada karyanya Dreaming. Rumah tidak terlepas dari keberadaan istri yang merawatnya. 
 
Dalam Harmoni, Ary Okta menggambarkan perempuan sebagai pendamping setia pasangannya yang saling memahami, mengisi, dan menjaga. Hal yang sama dipikirkan Ayoeningsih Dyah Woelandhary, bahwa Tuhan menciptakan perempuan untuk berdampingan dengan lelaki. 
 
Namun, perempuan dalam Tetap Melangkah adalah manusia yang mampu untuk bediri tegap di atas kakinya, berani melangkah kedepan tanpa menoleh untuk meraih apa yang di hadapannya. 
 
Alam ini merupakan suatu keseimbangan dan keberpasangan, semua dengan tugas sesuai  karakter masing-masing saling melengkapi. Karya Gelombang Kelembutan dibuat, mengingatkan Arleti Mochtar Apin akan watak feminin, kehalusan, kelenturan dalam keindahan. 
 
Penggabungan beberapa material dalam karya akan mewakili karakter gerak dan alur ekspresi lentur, lembut mengalun.
Karya Nuning Yanti Damayanti berjudul The Dreamers Marwah is Me yang melihat marwah selalu berkaitan dengan permasalahan diri sebagai perempuan dengan kebudayaan. -Revolutas S-

Nuning Yanti Damayanti dalam karyanya The Dreamers Marwah is Me melihat marwah selalu berkaitan dengan permasalahan diri sebagai perempuan dengan kebudayaan. Perempuan adalah dari dunia kecil domestik dan juga bagian dari dunia besar kebudayaan publik. 
 
Melihat Keluar
Setelah banyak membahas karya-karya yang berkaitan dengan sistem reproduksi, raga, pikiran, cermin, rumah, dan peran domestik, beberapa karya selanjutnya akan membahas peran perempuan yang outward looking. 
 
Dimulai dengan Dolorosa Sinaga yang membangun instalasi atas enam patung yang berinteraksi dengan patung ketujuh untuk membentuk patung ke delapan yaitu Codex of Art Power.
 
Jalinan dialog ini membawa patung-patung itu keluar dari wilayah primordial monolitiknya. Figur perempuan dan tentara di bagian bawah, bisa mengait dengan figur perempuan yang mengendong bayinya.
 
Dialog antara keduanya bisa terhubungan dengan dialog antara patung-patung yang lain, dan seterusnya. Jalinan dialog ini membawa patung-patung itu keluar dari wilayah primordial monolitiknya.
 
Karya Codex of Art Power diharapkan dapat mendorong gerakan publik untuk perubahan. Pengejawantahan atas perubahan selanjutnya, banyak berkaitan dengan isu-isu pelestarian lingkungan, kesetaraan gender, keberagaman, dan perjuangan atas diskriminasi ras dan kelompok.
 
Pelestarian Lingkungan
Diah Yulianti menggambarkan perempuan sebagai penjaga pelestarian hutan yang menjadi sumber penghidupan, hal itu digambarkannya dalam karya The Guard of Life.
 
Indah Arsyad melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia akibat egosentris manusia hingga terjadi krisis global yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan mempunyai dampak perubahan iklim global atau kerusakan bumi.
 
Jaga Bumi memperlihatkan budaya Jawa kuno mempunyai pengajaran kepada umat manusia tentang keseimbangan alam semesta. Desyifa Sumelian tidak spesifik membicarakan perempuan, namun membicarakan manusia pada umumnya yang hidupnya tidak bisa terlepas dari handphone. Handphone diibaratkan sebagai Opium yang pada akhirnya akan mengganggu lingkungan.
Karya Lucia Hartini, Wanita Berpayung, yang menggambarkan simbol keteguhan, kepercayaan, dan kekuatan sebagai perempuan. -Revoluta S-

 
Lucia Hartini melihat alam semesta sebagai payung perlindungan yang menguatkan perempuan dalam menjalani kehidupan. Dalam Wanita Berpayung, terlihat perempuan yang memegang kuat payungnya merupakan simbol keteguhan, kepercayaan, dan kekuatan sebagai perempuan. 
Karya Rotua Magdalena berjudul Kekuatan dalam Keindahan Perempuan yang menggambarkan marwah perempuan sebagai kekuatan tiga lapisan.-Revoluta S-

 
Pada karya berjudul Kekuatan dalam Keindahan Perempuan, Rotua Magdalena menggambarkan marwah perempuan sebagai kekuatan tiga lapisan, yaitu lahir, hidup dan mati, sama seperti laut, tanah dan langit.

BACA JUGA: Marwah, Kebangkitan Perupa Perempuan setelah 78 Tahun Indonesia Merdeka (5): Bagai Perisai yang Berlapis
 
Marwah seorang perempuan ada dalam kelembutannya yang memiliki kekuatan, menjadi perempuan itu indah. Perempuan adalah ibu bumi, merawat, melayani dan menjaga kehidupan. (Oleh Anna Sungkar: kurator)

Indeks: Mengeksplorasi dinamika kehidupan dalam bahasan keberagaman dan kesetaraan gender, baca selanjutnya…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: